PERCIK.ID- "... Kawasan itu disesaki kios-kios yang
menjual hasil laut. Airnya kotor. Daun-daunan, kepala ikan, dan sampah terapung
di permukaan air. Bau amis dari ikan mati memenuhi udara. Namun, selagi aku
dibantu menaiki anak tangga dari batu yang menuju ke daratan, aku berpikir,
'Inilah pemandangan paling indah yang pernah kulihat dalam hidupku'," ucap
Bung Karno. Cindy Adams menuliskan kalimat itu di bukunya, "Bung Karno:
Penyambung Lidah Rakyat"
Peristiwa
itu terjadi pada 9 Juli 1942 lewat tengah hari. Bung Karno kembali dari
perasingan. Setelah pada awal 1934 kapal van Riebeeck mengangkutnya
dari Jawa ke Flores. Delapan tahun berselang, setelah di pindah ke Sumatera,
Bung Karno kembali pulang. Penjajah yang membuangnya telah kalah. Jepang masuk
mengambil kuasa dan membawa Bung Karno kembali. Di dermaga yang berbau amis
itu, Bung Karno kembali bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan. Bung Hatta salah
satunya. Peristiwa ini sekaligus menandai babak baru perjuangan kemerdekaan
dimulai.
Ada
kisah menarik dan patut dikenang terjadi pada siang itu. Sebagaimana ditulis
oleh Goenawan Mohamad di "Catatan Pinggir".
Di
dermaga itu, Bung Karno melihat Anwar Tjokroaminoto, bekas iparnya, putra tokoh
pergerakan H. O. S, Tjokroaminoto yang datang menjemput kedatangannya. Mereka
berpelukan. Berciuman. Anwar tak bisa membendung tangisnya. Bung Karno terharu.
Tapi kemudian, ia kembali kepada kenyataan. Jas Anwar diraba-raba. "Jasmu
bagus sekali potongannya," ia memuji.
"Bikinan
De Koning," Anwar melagak.
"Penjahit
paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. Bagaimana kau membayarnya?"
Anwar mengangkat
kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya, dan berbisik, "Saya masuk
dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan
yang bekerja sebagai penjahit pembantu di Toko De Koning."
"Apa
dia mau kira-kira membikin untukku?"
"Tentu
mau. Kalau Bung Karno sudah sudah senggang sedikit, saya bawa kesana."
Betapa
sepele. Seorang pejuang kemerdekaan, pemimpin pergerakan. Menghadapi situasi
bangsanya yang serba sulit dan tak menentu. Tetapi hal yang dibicarakan pertama
kali dengan temannya sepulang dari pengasingan cuma soal baju. Seolah-olah baru
pulang dari plesir saja.
Ketika
manusia sudah ditokohkan, dianggap sebagai orang besar, definisi terhadapnya
terbentuk seolah-olah dia bukan lagi manusia biasa dengan sikap dan tindakan
yang biasa-biasa. Bahkan, ketika dia berbuat hal yang biasa, dianggapnya tetap
sebagai tindakan yang istimewa.
Sebagaimana
ketika Umar bin Khoththob, seorang Amirul Mukminin. Pemimpin orang-orang
beriman, ketika berkhutbah di hadapan ribuan rakyatnya berkata bahwa dirinya,
dahulu, cuma seorang gembala domba, yang dari pekerjaan itu ia memeroleh upah
segenggam kurma. Kurma itulah satu-satunya makanan yang membantunya bisa
bertahan hidup. Kemudian ia mengucapkan salam dan turun dari mimbar.
Abdurrohman bin Auf memprotes, kenapa seorang Umar cuma bercerita tentang kisah
hidupnya mengembalakan domba-domba dan bukannya nasihat-nasihat agung yang
sepantasnya keluar dari mulutnya? Tindakan sederhana pun memerlukan keberanian,
yang seringkali tidak dimiliki oleh orang kebayakan.
Bukankah
memang yang membentuk sejarah itu adalah tindakan-tindakan besar dan bukannya
orang-orang besar? Orang besar menjadi orang besar sebab tindakan dan
pilihan-pilihan hidupnya yang meski tak sepenuhnya suci, telah secara berani
mengambil resiko atas semua tindakannya.
Bung
Karno adalah nama yang memang patut dikenang. Lebih dari seorang pahlawan.
Sebab yang paling penting dalam hidup bukanlah pahlawan-pahlawan. Lebih penting
dari itu adalah perbuatan kepahlawanan. Yang tidak terjadi setiap hari.
www.percik.id
BalasHapusBung Karno dan Umar yang Biasa-biasa Saja