PERCIK.ID- Di Surabaya ini saya mendapati satu
fenomena lucu tapi seragam terjadi hampir di setiap sudut kota, terutama bagian
Surabaya Utara. Apa itu? Adalah fenomena klakson yang sahut-sahutan pada detik
pertama lampu hijau. Iya detik pertama. Cling ‘ijo’, bahkan mungkin kendaraan
paling belakang di antrian traffic light pun ikut teriak.
Tinnn..tinnn..tinnn..!!
Yah, mungkin banyak dari pelakunya tidak
memahami bahwa membunyikan bel secara membabi buta itu seperti
berteriak-teriak di kerumunan yang jelas tidak baik secara etika. Terlebih,
mereka sudah pasti tidak belajar flow regime. Bagaimana sunatulloh
aliran arus bergerak. Kan ya nggak mungkin dong,
ketika kran dibuka lalu semua air dalam pipa bergerak bersamaan. Harus yang
terdepan bergeser, lanjut belakangnya, baru yang terbelakang. Ini namanya pseudo
steady state flow. Nah nanti setelah semua bergerak bersamaan dalam
kecepatan pindah yang sama rata, itulah tahap steady state flow tercapai.
Jadi secara saintifik, terbukti sudah
perilaku kesusu di traffic light adalah kekeliruan. Jika Anda
tidak berada di barisan terdepan, harapan untuk bisa langsung jalan sesaat
ketika lampu ijo hidup, sama halnya seperti ingin menikahi dia yang dilamar
saja tidak mau.
Saya jadi ingat satu teori dari teman lama
tentang perilaku beginian. Nerobos lampu merah, ugal-ugalan di jalan, dan
semacam hal lainnya. Kata dia,
“Kalau dipikir-pikir, kebanyakan orang-orang
kesusu itu, saat sudah sampai tujuan paling juga cuma mau nyantai. Kalau itu
pulang ke rumah ya cuma mau goler-goler saja. Paling nonton tivi.”
Teman saya ini ingin mengatakan,
terburu-burunya kita di jalanan, tidak selalu menjadi cerminan seberapa penting
urusan yang akan kita kerjakan sesampainya di tempat tujuan.
Sedikit banyak saya setuju karena saya
sendiri pernah mengalami seperti itu. Tentu jangan disamakan dengan orang-orang
yang memang keburu-buru karena urusan penting dan emergensi ya. Beda!
Pada kasus Surabaya ini, boleh jadi tidak
saja karena alasan emergensi. Bisa juga karena karakter orangnya yang memang
keras, cekatan, dan ingin serba cepat. Sebab fenomena kesusu di jalanan ini
tidak saya jumpai di Jogja. Seperti menjalani hidup, disana orang
cenderung semeleh dalam berkendara. Bahkan tak jarang saya temui,
mereka manggakne satu sama lain. Mempersilahkan yang lain
untuk duluan, dan dengan sengaja mengalah. Kalaupun tak semulia itu, yang jelas
kebanyakan dari mereka tidak gupuh melihat lampu hijau hidup.
Jadi sebab apa? Apakah karakter
pengendara-pengendara di semua jalanan Surabaya sama? Semuanya ingin cepat dan
tidak semeleh. Atau, apakah juga semua sedang emergensi? Rasanya ndak ya. Perlu
riset jika mau tau pasti jawabnya. Hanya, jika bukan karena emergensi, juga
bukan karena karakter, lalu apa?
Jangan-jangan teori teman saya di atas ada
benarnya. Orang-orang itu gupuh di jalanan bisa karena alasan-alasan icikiwir seperti
keburu-buru pengen santai atau ya terbawa suasana buru-buru saja. Gupuh
karepe dhewe. Kesusu tanpa sebab.
Maka, melihat fenomena tersebut, teori teman
saya ini bisa disimpulkan lebih menjurus menjadi kira-kira demikian,
“Orang kemrungsung, ngglambyar, kesusu,
justru karena tidak jelas tujuan dan fokus nya mau apa”
Saya rasa ini lebih pas. Terburu-burunya
orang yang tidak emergensi, mungkin memang karena tidak adanya tujuan yang
sedang difokuskan dalam pikiran dan hatinya sehingga perilakunya seperti kecoak
terbang yang tidak ada arah.
Beda to dengan elang yang
sasaran tujuannya sudah pasti, terbangnya terarah, melesat fokus menuju sasaran
secara efisien dan tenang. Nah, ini pelajarannya. Efisiensi tindakan, rupanya
bisa dimulai dari tujuan dan fokus yang jelas.
www.percik.id
BalasHapusKesusu