PERCIK.ID- Hukum itu berputar
bersama illatnya. Tempat, waktu, situasi dan kondisi dimana suatu
kasus terjadi, berkaitan erat dengan bagaiamana seharusnya suatu hukum
ditelurkan. Maka dari itu, dalam kondisi darurat, yang tidak memungkinkan
menerapkan hukum normal, seseorang dibolehkan untuk melakukan ijtihadnya
sendiri, dan melakukan hal-hal tertetu demi kemaslahatan dan kelangsungan
hidupnya. Sekalipun dalam hukum normal hal itu dilarang. Kaidah fikih mengatakan
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَات
“Kondisi darurat
membolehkan sesuatu yang terlarang”
Kasus yang sering dijadikan contoh, misalanya
ketika seseorang tersesat di hutan, dan dalam kondisi yang begitu kepayahan,
lapar dan dahaga, ia tidak menemukan buah buahan, tumbuhan atau hewan apapun yang
halal baginya untuk dimakan. Maka dalam situasi seperti itu, ia dibolehkan
untuk memakan bangkai, atau hewan-hewan liar yang sebetulnya berstatus harom
dimakan. Kondisi terdesak yang seseorang alami memenuhi syarat yang
cukup sebagai ‘illat hukum yang membolehkannya mengonsumsi itu
semua. Dengan catatan, ia memakannya dengan porsi ala kadarnya. Yang penting,
bisa membuatya kembali bertenaga, dan lolos dari ancaman maut akibat kelaparan.
Ini hanya sekadar ilustrasi. Dalam
kasus-kasus lain yang memiliki kondisi serupa, pengecualian hukum seperti itu
juga berlaku. Misalnnya dibolehkannya tayammum bagi orang yang
tidak menemukan air untuk berwudlu sedangkan waktu solat sudah mepet. Tidak
berpuasa bagi orang yang sedang mengidap penyakit-penyakit tertentu, dll. Tentu
sekalipun demikian, seluruh keringanan yang didapat seseorang dalam kondisi
demikian tetap memiliki catatan catatan tambahan.
Tetapi sebetulnya tidak berhenti cuma sampai
disitu. Para ulama’, khusunya dari kalangan madzhab syafi’i memunculkan
teori hiyal (bentuk plural dari hillah), yang
secara sederhana berarti “kaidah menyiasati jeratan hukum fikih”.
Kata “siasat” atau “menyiasati” dalam pengertian hillah tidak
mesti berkonotasi buruk. Sebab tujuan utama siasat hillah -dan
ini yang benar- justru adalah untuk mencapai kemaslahatan. Meskipun ada juga
orang yang menggunakan teori ini dengan maksud tidak baik.
Gambaran definisinya bisa kita tarik dari
kasus hukum jual beli kotoran hewan. Kotoran hewan, terutama di pedesaan,
banyak digunakan para petani sebagai media untuk menyuburkan tanah dan tanaman
mereka. Pupuk kandang berupa kotoran hewan itu dipilih, lantaran selain murah
dan mudah didapat, dampaknya kepada tanah dan tanaman juga dirasa sangat nyata.
Selain itu, penggunaan pupuk kandang juga lebih sehat dan alami. Berbeda dengan
pupuk kimiawi yang diproduksi pabrik, tanaman yang dirabuk dengan pupuk
kandang, relatif tidak mengandung efek samping yang berbahaya bagi tubuh.
Oleh sebab itu, penggunaan pupuk kandang
menjadi sebuah kebutuhan yang berujung pada banyak kemaslahatan. Masalahnya,
tidak semua petani memelihara hewan ternak, sehingga untuk mendapatkan pupuk
kandang, terkadang mereka harus membelinya dari orang lain. Sedangkan dalam
pandangan fikih, jual-beli semacam ini bermasalah. Sebab barang yang diperjual
belikan (al-ma’qud alaih) tidak memenuhi syarat unsur kesucian. Kotoran
hewan secara dzat (ain) memang najis. Maka dua hal ini menjadi saling
bertolak belakang. Disatu sisi jual-beli pupuk kandang memiliki banyak sisi
kebaikan dan kemanfaatan, tetapi hal itu juga bertabrakan dengan aturan fikih
yang baku. Lalu bolehkah mengatur siasat bagaimana agar para petani tetap bisa
memanfaatkan pupuk kandang untuk kesuburan tanaman mereka, namun juga terhindar
dari keharoman jual beli barang najis? Disinilah letak persoalnnya.
Oleh sebab itu, dengan berpijak pada al-Qur’an surat Thoha ayat 2,
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ
لِتَشْقَى
“KAMI tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah”
Bahwa al-Qur’an sebagai induk hukum utama
tidak diturunkan dalam rangka menyulitkan kehidupan umat manusia, maka para
ulama’ dari kalangan syafi’iyyah memunculkan teori hillah atau
siasat hukum sebagai alternatif untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Transaksi jual beli kotoran sebagaimana
tersebut diatas, yang asalnya terlarang menurut Imam Syafi’i sendiri, bisa
berubah hukumnya menjadi boleh, dengan siasat tertentu. Salah satunya adalah
dengan cara mengubah lafadz akad (transaksi) jual beli menjadi
transaksi jasa yakni ijaroh (upah-mengupah) atau pemindahan
hak atas barang (naqlul yad).
Hillah juga terjadi dalam banyak kasus-kasus
yang lain. Pernikahan dan perceraian, atau akad pinjam meminjam uang misalnya.
Dimana pihak yang meminjam biasanya menyerahkan barang tertentu miliknya
sebagai jaminan bagi pihak yang dipinjami. Dalam hukum baku fikih, akad
pinjam-meminjam semacam ini juga terlarang. Tetapi toh nyatanya
saat ini, hampir semua transaksi peminjaman uang, baik yang dilakukan individu
dengan individu, maupun dengan suatu lembaga resmi tertentu, hampir semuanya
seperti itu. Lantas bagaiamana para ulama’ menyikapi fenomena ini, dan apa
kaitannya dengan ketenangan para kiai sebagaiamana judul di atas? keterangan
lebih lanjut akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Insya Alloh.
www.percik.id
BalasHapusMengenal Teori Hilah