PERCIK.ID- Bagi orang jawa, Bulan Sura adalah bulan pantangan. Bulan dimana perayaan-perayaan seperti pernikahan, sunatan dan aneka pesta kemeriahan ditabukan. Pantangan ini berlanjut sampai dewasa ini. Di bulan Sura, Anda pasti tak menemukan orang-orang Jawa yang ‘berani’ mengadakan acara pernikahan dan sejenisnya. Mengapa?
Sebagian orang
Jawa tidak berani mengadakan perayaan pesta di bulan Sura karena manut
(ikut) apa kata orang tua. Tahu ataupun tidak sebabnya, yang penting di bulan
Sura ini, menurut mbah-mbah dulu, tidak boleh mengadakan perayaan, sebab nanti
kalau tetap mengadakan perayaan pernikahan misalnya, maka akan terkena bala’
(bencana, musibah), ya manut saja.
Sebagian
yang lain, tidak mengadakan perayaan di bulan Sura, karena mengetahui dan sadar
diri bahwa tidak patut memang, jika mengadakaan perayaan-perayaan pesta pada
bulan ini. Ini dilakukan sebagai bentuk ‘ikut berkabung’ atas tragedi yang
terjadi pada bulan Sura. Tragedi apa itu, nanti saya jelaskan di bawah.
Selain
dua di atas ada juga sebagaian yang lain lagi. Orang-orang ini, tidak peduli
bahkan mencela orang-orang yang takut mengadakan perayaan di bulan sura ini. Bid’ah,
syirik dan lain sebagainya katanya.
Muslim Jawa
memandang bahwa bulan Sura adalah bulan duka cita. Sebab pada tanggal 10 Muharram
terjadi pembantaian atas keluarga Rasulullah, oleh tentara dzalim pada saat
itu. Pada pembantaian ini, cucu kinasih beliau, Sayyidina Husein bin Ali gugur
dengan sangat mengenaskan. Kepala beliau dipenggal, sementara tubuh beliau
diinjak-injak dengan kuda. Guna mengenang tragedi tersebut penanggalan Jawa yang
konon diprakarsai oleh Sultan Agung, menamai bulan Muharram degan bulan Sura.
Merujuk pada peristiwa 10 Muharram (as-Syura).
Tragedi
itu mengguncang umat islam di berbagai belahan dunia. Di Irak, saat itu muncul
pemberontakan kaum tawwaabuun (yang bertaubat). Mereka ini adalah
orang-orang irak yang mengundang Sayyidina Husein ke Irak untuk menjadi dibaiat
menjadi khalifah. Namun, saat Sayyidina Husein dicegat oleh tentara Yazid bin Muawwiyah.
Mereka lepas tangan, tidak membantu Sayyidina Husein. Karena itulah mereka melakukan
pemberontakan dengan tekad menang atau mati. Ciri khas kelompok ini adalah
semakin bergembira apabila darah mengucur dari tubuh mereka, lalu
mengusapkannya ke tubuh meraka. Sementara dalam tradisi Jawa, boleh jadi untuk
ikut dalam mengenang peristiwa itu, kemudian tindakan seperti ini diekpresikan
dengan mandi, di sumber mata air tertentu.
Sementara
pada masa itu di berbagai bagian masyarakat mempersiapkan diri untuk melakukan
perlawanan. Mereka mencuci, mengasah dan mempersiapkan senjata mereka. Melakukan
protes, mengacungkan senjata, juga mempersiapkan kuda-kuda dan pasukan. Untuk
mengenangnya, orang Jawa mengekspresikan dengan upacara jamasan pusaka.
Kemudian ada lagi kirab pusaka. Yang sampai saat ini menjadi tradisi di
keraton Kasunanan Surakarta. Intinya adalah mempersiapkan diri untuk membela
kelurga nabi.
Tragedi
pembantaian cucu kinasih nabi itu dipandang sebagai peristwa gelap dalam
sejarah. Peristiwa itu selalu diperingati dengan isakan air mata. Bulan berduka
bagi para pecinta. Menyikapinya, masyarakat muslim Jawa pun mengekpresikan
dengan keterlibatan rasa dan simbol-simbol. Itu sebabnya, pada bulan Sura acara
seperti pernikahan, perta-pora dan berbagai kemeriahan ditabukan. Bukan karena
apa, tapi sebagai ekspresi dan pengungkapan cinta kepada keluarga nabi yang
terkena musibah di bulan Muharram.
Dengan
memahami ini, setidaknya tak lagi ada orang yang meledek, nyinyir atau bahkan
mencela mengapa orang Jawa tidak ‘berani’ mengadakan acara pada bulan Sura. Tak
ada dalil di al-Qur’an atau hadis yang melarang mengadakan perayaan di bulan
Sura. Juga dalil jika mengadakan acara perayaan di bulan Sura akan terkena bala’
dan lain sebagainya. Tak ada dalil seperti ini. Sekali lagi ini adalah ekspresi
cinta. Patutkah seorang pecinta melaksanakan pesta saat yang dicintainya
terkena musibah dan kesusahan? Namun kini, alasan seperti ini apakah juga dipahami
oleh orang yang tidak berani mengadakan perayaan di bulan Sura? Wa-llahu ‘alam.
www.percik.id
BalasHapusEkspresi Muslim Jawa di Bulan Sura