PERCIK.ID- Pada buku
pertama, penulis menyuguhkan periode awal kehidupan Gajah Mada. Terlahir dari
kasta yang lebih rendah dari kasta ayahnya. Masa kecil yang kenyang dengan
aneka cacian, makian dan hinaan. Juga hari-hari Mada yang ditempa dalam
perjalanan kehidupan yang keras, ganas, kejam, penuh derita yang menempanya
dalam sekolah kehidupan.
Tumbuh
sebagai anak yatim piatu. Ia tinggal bersama kakeknya. Setelah sang kakek
meninggal babak baru kehidupan Mada pun dimulai. Di usianya yang belum genap 12
tahun. Mada dituntut untuk berani menghadapi tantangan tanpa berharap bantuan
siapaun. Pada usia yang sangat belia itu, ia sudah menjalani kerasnya
kehidupan.
Mada bekerja
sebagai pembuat keranjang wadah ikan, kemudian beralih menjadi buruh angkut
pelabuhan. Kemudian menjadi pembantu pedagang keramik dan tembikar. Tragedi di
pelabuhan Tuban yang hampir saja merenggut nyawanya menjadi awal sampainya Mada
pada kenyataan yang tak dinyananya selama ini. Ia diangkat menjadi pemabawa
busur dan pedang perwira Majapahit.
Kehadiran
Mada yang tiba-tiba dan menjadi kepercayaan perwira Majapahit ternyata,
meninggalkan rasa kecemburuan sosial bagi bawahan yang lain. Kecemburuan
teman-teman Mada, sesama bawahan Perwira kepadanya, berujung niat jahat mereka
untuk membunuh Mada.
Namun, yang
membuat kehidupan dan kematian adalah yang Maha Kuasa. Sebaik apapun rencana,
sekuat apapun eksekusi yang dilakukan, jika Dia tidak menghendaki mati untuk
hamba-Nya, maka hamba tersebut tak akan mati. Itulah yang dialami oleh Mada.
Aksi pembunuhan yang dilakukan oleh bawahan perwira Majapahit yang dikira bisa
meelenyapkan Mada justru menjadi awal bagi Mada, menuju titik terang dalam
perjalanan hidupnya. Menjadi salah satu pembesar Majapahit.
Suatu ketika
Mada menyelamatkan nyawa patih Daha Arya Tilam, yang nyaris diterkam harimau
saat berburu. Patih Daha yang terkenal kebijaksaannya itu pun membalas jasa
Mada dengan memperkerjakannya sebagai Citralekha, juru tulis kepatihan.
Memanfaatkan pekerjaan, Mada yang bebas keluar masuk perpustakaan kerajaan
melahap semua naskah yang memuat aneka macam ilmu pengetahuan. Dari situ Mada
menguasi Sashtra, Usada, Danda, Bhuya dan Dharma.
Kebaikan
pasti akan dibalas dengan kebaikan pula. Itu yang dialami Mada. Dengan tulus,
tanpa mengenal asal-usul orang, dengan gagah berani ia menyelamatkan nyawa
seorang perempuan yang berada di kereta, di mana kuda penariknya lepas kendali.
Perempuan itu ternyata adalah Putri Tribhuana. Atas jasanya ini Mada pun
diangkat sebagai Patih Taruna Daha mendampingi Patih Daha Arya Tilam.
Pada jabatan
baru ini, Mada diberi tugas utama untuk menyempurnakan kitab undang-undang
hukum Kutaramanawa Dharmasasthra, kitab undang-undang yang belum selesai
disempurnakan oleh Sri Prabu Kertanegara. Mada berusaha keras menjalakan tugas
yang diembannya itu. Ia kerahkan kemampuan dhohir batinnya. Ketika tugas itu
selesai, Mada pun mendapat pujian dan sanjungan dari Si Prabu Kertarajasa
Jayawardhana, Raja Pertama Majapahit. Hingga keluarlah Sapatha Sumpah
Hamongmong Rimong, sumpah kesetiaan Mada untuk mendarmabaktikan hidupnya pada
tanah airnya.
Atas sumpah
itu, Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana pun menitahkan sabda. Bahwa Mada
adalah abdi Majapahit sejati yang telah menghapus segala kepentingan pribadinya
demi negara. Mada adalah Guru Pangajyian Majapahit yang harus didengar semua
petunjuk dan arahannya, siapapun di antara ksatria yang setia kepada Majapahit.
Pujian dan
sanjungan dari Sri Prabu Jawardhana itu ternyata membuat sebagian orang yang keruh
jiwanya, utamanya pembesar-pembesar Majapahit tidak nyaman. Mada anak yang baru
kemarin sore, tidak jelas dari mana asal-usulnya tiba-tiba mendapatkan
apresiasi yang sedemikian tinggi dari sang Raja. Aneka upaya mereka lakukan
untuk menyingkirkan Mada. Hingga melenyapkan Mada untuk selamanya. Dan yang
paling bernafsu untuk menyingkirkan Mada adalah Mahpatih Majapahit Dyah
Halayudha.
Pada buku
kedua ini, kita akan disuguhi kisah intrik-intrik jahat yang dilakukan oleh
Dyah Halayudha. Menyingkirkan siapapun yang dianggap membahayakan eksistensinya
di depan Raja Majapahit. Gelombang fitnah ditebar. mengadu domba antar pembesar
kerajaan. Termasuk melenyapkan Mahapatih Amangkubhumi Majapahit Arya Nambi.
Atas fitnah dan hasutan Halayudha, Sri Maharaja Jayanegara pun percaya bahwa
mahapatih yang sangat setia dan berjasa besar pada Majapahit itu melakukan
pemberontakan.
Setelah
mangkatnya Sri Maharaja Jayawardhana, dan tampuk kepemimpinan Majapahit
dipegang oleh Sri Maharaja Jayanegara pemberontakan-pemberontakan terjadi di
mana-mana. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Ketidakpuasaan akan kepemimpinan
Jayanegara meluas. Dan ini yang dikehendaki oleh Dyah Halayudha mengikis wibawa
raja di mata rakyatnya. Negara bergejolak. Di tengah pusaran fitnah dan
gelombang adu domba itulah, Mada berjuang untuk mengembalikan wibawa raja dan
menyatukan kembali persatuan yang sempat terkoyak.
Rekosntruksi
apik kisah hidup Mahapatih Gajah Mada dalam bentuk narasi diskriptif, yang
didukung dengan data primer, data sekunder, data tersier sejarah, maupun
cerita-cerita legenda dari berbagai daerah yang berhubungan dengan Gajah Mada.
Menjadi keunggulan tersendiri dari buku karya KH. Agus Sunyoto ini.
www.percik.id
BalasHapusMada, Di Tengah Pusaran Fitnah dan Adu Domba