PERCIK.ID- Salah satu hal yang paling saya syukuri saat ini adalah
takdir bahwa saya ditetapkan Alloh lahir, tumbuh, dan hidup lama di desa. Ada sekian
alasan, tapi paling tidak, hidup di desa membuat saya sejak kecil terbiasa
berkawan baik dengan teman-teman yang memiliki latar belakang keyakinan agama
berbeda. Kami bertetangga dan layaknya anak-anak lain, kami bermain dan kelayapan
bersama.
Bapak atau emak tak pernah sekalipun melarang saya
berkawan dengan mereka. Tapi toh kami sudah sama-sama tahu batasan
masing-masing. Tentang apa yang bisa kami bicarakan dan sejauh mana kami
bercanda. Kami sama-sama tahu diri dan tidak menyinggung soal keyakinan.
Semuanya berjalan begitu alami. Natural saja.
Bahkan, kalau pas punya hajatan-hajatan tertentu, metoni
anaknya misalnya, (memperingati weton -hari lahir menurut perhitungan jawa-), emak
selalu mengundang mereka untuk turut datang kerumah dan berdoa.
Waktu itu, saya tak pernah menganggap kedekatan dan
perkawanan saya dengan teman-teman yang beda agama sebagai sesuatu yang
istimewa. Saya menganggapnya biasa saja. Sesuatu yang lumrah berteman dengan
siapa saja, apalagi tetangga sendiri. Persepsi anak kecil yang begitu lugu.
Tetapi pandangan saya mulai berubah, seiring dengan perpindahan saya tidak lagi
tinggal di desa. Mengamati dinamika pergaulan sosial di lingkungan baru, dan masyarakat
Indonesia pada umumnya yang kian berjarak, membuat saya menyimpulkan bahwa apa
yang saya dan kawan-kawan saya lakukan di masa kecil kami itu sesuatu yang luar
biasa harus saya syukuri.
Betapa tidak? Pengalaman itu telah membentuk pandangan
dan pribadi saya begitu kuat. Jauh sebelum orang-orang meributkan toleransi,
makna kebhinekaan, dan kebangsaan, ternyata kami sudah memraktikannya lebih
dulu. Kami akur, bermain dan hidup bersama tanpa pernah mempertengkaran paham
dan keyakinan masing masing. yang kami tahu, kita adalah teman yang harus
saling menyenangkan satu sama lain.
Saya pribadi meyakini, urusan hidayah adalah mutlak
urusan TuHan (Baca: Alloh) dan tidak bisa diganggu gugat manusia. Alloh sendiri
yang berfirman,
“Dan kalau Alloh menghendaki, niscaya DIA
menjadikan kamu satu umat (agama) saja. Tetapi Alloh menyesatkan siapa yang
dikehendakiNYA dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNYA. Dan
sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (Qs.an-Nahl
[16]: 93)
Juga dalam firman Alloh yang
lain,
“Dan jikalau
TuHanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?” (Qs.Yunus [10]: 99)
Bagaimanapun, kita tidak bisa melepaskan diri dari
sejarah bagaimana kita lahir. Orang beragama Islam dan meyakini betul
keimanannya, umumnya lahir dari orang tua Islam. Hidup dalam keluarga dan
lingkungan yang juga berisikan orang-orang Islam. Setiap hari dia di didik dan di
beri pemahaman ajaran islam, sehingga kuatlah keyakinannya bahwa agama Islam
adalah agama yang paling benar untuk dianut. Maka itu pulalah yang terjadi pada
orang-orang umat agama lain.
Agama bagian dari sesuatu yang melekat dengan kelahiran.
Memang, pada masanya orang bebas berpikir kembali dan memilih agamanya. Tetapi
kita tahu agama bukanlah pilihan bebas. Dan kita tidak bisa menghakimi serta
merendahkan orang lain, atas apa yang ada padanya sejak lahir dan tidak bisa ia
tolak. Seperti kita tidak bisa menyalahkan orang berhidung pesek, berambut
kriting, atau berkulit hitam. Itu semua mutlak takdir yang Maha Kuasa.
Andai semua orang punya pengalaman dan pikiran seperti
masa kecil kami dulu. Andai....
www.percik.id
BalasHapusMasa Kecil Saya Bersama Anak Berbeda Agama