PERCIK.ID- Muhammad Asad bernama asli Leopold Weiss, lahir dari keluarga berkebangsaan Polandia yang memeluk Agama Yahudi. Pada perjalanan hidupnya, ia menjadi mu’allaf yang sangat tekun belajar ilmu-ilmu keislaman, agama barunya, khususnya tentang al-Qur'an dan segala macam perangkat untuk mengkajinya.
Ia mengembara ke hampir semua kota-kota besar di
semenanjung Arabia, sekaligus desa-desa terpencil demi memelajari Bahasa Arab
paling otentik sebagai bekal menyelami makna yang dikandung al-Qur'an. Selain
itu, hampir seluruh literatur klasik sampai kontemporer mengenai al-Qur'an dan
tafsirnya ia lahap dengan penuh semangat.
Pada waktunya, ia diakui sebagai salah satu
penerjemah al-Qur'an terbaik ke dalam Bahasa Inggris bersanding dengan Yusuf
Ali. Jasanya kepada masyarakat muslim di dunia barat amat sangat penting untuk
menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'an secara proporsional setelah sekian lama
penerjemahan al-Qur'an di dunia barat dimonopoli oleh orientalis.
Asad tak sekadar menguasai Bahasa Inggris sebagai
bahasa ibu, tetapi juga telah belajar tentang seni dan filsafatnya. Ia bertekad
menangkap seteliti mungkin diksi, denotasi, alusi, konotasi dan pelbagai nuansa
bahasa al-Qur'an agar dapat menyuguhkan terjemahan/tafsir terbaik dalam Bahasa
Inggris. Jelas, Asad punya bekal yang amat sangat cukup.
Penerjemahan al-Qur-an oleh Asad ke dalam Bahasa
Inggris menjadi penting karena sejak pertama kali al-Qur'an diterjemahkan ke
dalam Bahasa Inggris, mayoritas terjemahan tersebut mengandung sintimen yang
berlebih terhadap Islam yang dipengaruhi oleh Perang Salib di masa lalu, juga
ketidakpahaman para sarjana orientalis dalam memahami dan memosisikan
al-Qur'an, sehingga banyak terjadi kekeliruan dan kesalahan yang entah
disengaja atau tidak.
Mereka mengatakan bahwa bahasa al-Qur'an kasar dan
kacau, strukturnya tidak konsisten, dan penuturannya tidak sistematis. Menurut Asad,
mereka tidak paham bahwa al-Qur'an adalah kalam Alloh Yang Mahabenar. Sebagai
ucapan dari Yang Mahabenar, al-Qur'an seakan menunjukkan bahwa ia tidak perlu
tunduk pada aturan-aturan bikinan manusia mana pun, tak terkecuali aturan
bahasa mereka, dan justru di situlah letak mukjizat itu ditemukan.
Sarjana orientalis hanya belajar al-Qur'an dari
kawan-kawan mereka sendiri -alih-alih merujuk kepada sarjana-sarjana Muslim-
yang masih dipenuhi sentimen akan Islam, sehingga semangat kejujuran di dalam
ilmu pengetahuan belum diutamakan, yang berarti pula hilangnya objektivitas.
Ketika al-Qur'an diturunkan dengan menggunakan
Bahasa Arab, kita mengira bahwa orang-orang Arab pasti tidak akan mengalami
kesulitan di dalam memahaminya. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian.
Berbagai riwayat mengatakan, bahkan para Sahabat Nabi saw. sendiri banyak yang
tidak memahami berbagai lafal yang dikemukakan al-Qur'an.
'Abdulloh ibn 'Abbas -salah seorang Sahabat dan
pensyarah al-Qur'an par exellent sesudah Nabi saw.- misalnya, pernah
mengalami kesulitan memahami kata fathiros samawati wal-ard, yang
secara harfiah lazim diterjemahkan menjadi "(Alloh) Pencipta langit dan bumi", sampai kemudian datang kepadanya
dua orang Badui yang bersengketa memperebutkan mata air. Dalam pengaduan mereka
di hadapan 'Abdulloh ibn 'Abbas, salah seorang di antara keduanya mengatakan,
"Ana fathortuha" dan yang lain mengatakan "Ana
ibtada'tuha”. Dari percakapan itulah, Ibnu 'Abbas kemudian mengerti makna
kata yang dicarinya.
Asad mengajak kita untuk optimal di dalam
menggunakan akal karunia Tuhan, satu contoh ketika ia mengartikan ayat "warofa'na
fauqokum at-thur" yang oleh Departemen Agama RI, diterjemahkan,
"dan Kami angkatkan Gunung (Thurisina) di atas kamu". Terjemahan kata
per kata dalam Bahasa Indonesia ini secara sangat jelas mengisyaratkan bahwa
Gunung Thurisina diangkat di atas mereka (Bani Isarail). Pengertian seperti itu,
bagi Asad, tampaknya kurang tepat bagi nalar masa kini. Karena itu, Asad
memberi arti lain terhadap kata kerja "rofa'na" (Kami
mengangkat), yakni "Kami biarkan berdiri tegak" sebagai saksi atas
sumpah setia Bani Israil. Sebab, kata "rofa'a" memang bisa
berarti mengangkat dan bisa pula berarti menegakkan.
Di tangan Asad, kita menemukan al-Qur'an sebagai
buku ilmu pengetahuan rasional sekaligus spiritual, serta penawar bagi manusia syifa'
lin-nas atau penawar (kegelisahan-kegelisahan) yang berada dalam hati syifa'
ma fis-shudur.
Asad sedapat mungkin bersikap rasional dalam
membaca dan memahami ayat-ayat al-Qur'an. Boleh jadi cenderung rasionalistik di
beberapa bagian. Akan tetapi, hal ini sama sekali tak berarti bahwa Asad adalah
seorang rasionalis ekstrem. Tak usah jauh-jauh, bahkan sejak ayat-ayat pertama
Surat al-Baqoroh, Asad menyampaikan posisinya ketika menafsirkan ayat ke-3
surah itu bahwa Kitab Suci ini hanya bisa dipahami (dibaca dan diambil
manfaatnya) oleh orang-orang yang percaya pada yang gaib. Yang gaib itu,
menurutnya adalah realitas tertinggi yang melampaui wilayah yang mampu kita
amati. Hanya orang-orang yang mempunyai keyakinan atas realitas itulah yang
akan mencapai iman.
www.percik.id
BalasHapusMuhammad Asad dan Akal yang Dimaksimalkan