PERCIK.ID- Seorang sahabat karib yang tinggal di Solo pernah
bercerita pada saya perihal pilihan sikap yang diambil orang tuanya dalam bab
bertetangga. Bapaknya yang seorang pedagang sukses disana tinggal di
perkampungan normal biasa. Tidak memilih daerah elite, namun juga tidak
desa-desa amat. Tapi di Solo, tak perlu sampai harus hidup di desa untuk
menemukan harmoni kehidupan sosial disana. Nyatanya tenggang rasa dan toleransi
sudah mbalung sungsum di benak jiwa warga Solo pada umumnya.
Saya memang tidak bisa menjamin semua orang Solo seperti
itu. Toh dimanapun berada akan selalu saja ada satu dua pihak yang
individualis, egois, dan merasa hidup sudah bisa diatasi sendiri. Seakan nanti
saat matinya pun, mereka bisa mengubur dirinya sendiri.
Namun yang begituan jelas bukan Bapak teman saya itu. Untuk
perkara tepo seliro, saya berani memberi jaminan paten padanya.
Tersebutlah beliau dengan panggilan Bapak Hasyim. Sebagai
pengusaha garmen yang sudah moncer, mudah saja baginya untuk berkontribusi
kepada tetangga-tetangganya. Misalkan, sesederhana beliau bangunkan musholla di
samping rumah dimana sahabat saya yang sering kena bagian Adzan plus pastinya
sedikit banyak bersih-bersih. Selain mushola itu, saya yakin masih banyak
kontribusi sosial lain yang diberikan Pak Hasyim untuk kampungnya.
Cerita yang disampaikan sahabat saya ini sudah lewat
bertahun-tahun. Jika sekarang ditanya, mungkin sahabat saya itu sudah lupa pernah
bercerita tentang Bapaknya. Tapi buat saya, ceritanya itu terekam begitu
lekat dalam pikiran. Saking hikmahnya begitu tandas menusuk tajam kedalam
hati dan ingatan saya.
Pernah suatu ketika, saat bisnisnya mulai mapan, Pak
Hasyim berencana untuk membeli mobil. Urusan uang sudah pasti tidak jadi
pikiran. Mudah saja. Jenis mobil disortir, diurutkan sesuai kesenangan beliau,
juga dengan pertimbangan kebutuhan. Bangkunya harus cukup menampung semua keluarganya
dengan nyaman ketika piknik ke Jogja misalnya. Atau kalau-kalau harus kirim
barang ke pelanggan, mobil pribadi ini dapat menjadi pilihan emerjensi untuk
digunakan.
Saat pilihan mobil sudah didapat, semua anggota keluarga
juga sudah sepakat, justru Pak Hasyim tidak jadi berangkat.
Beliau urungkan niat untuk punya mobil kesukaannya itu.
Pun bahkan jika harus mengemukakan niat-niat mulia seperti untuk menyenangkan
isteri dan anaknya agar bisa sering berlibur bersama. Tidak. Tidak untuk
semulia apapun niat, mobil tetap tidak jadi dibeli.
“Gak
sido. Gak penak karo tonggo (Tidak jadi. Tidak enak dengan tetangga)”
Euh. Bagi saya,
alasan itu terasa seperti upper cut Lenox Lewis yang tepat mengenai
rahang bawah Holyfield. Mak jleng!
Saestu, itulah
sensasi yang saya rasakan ketika mendengar cerita dari sahabat saya, anak Pak
Hasyim. Saya hanya diam. Mengaku K.O. Seketika itu ada perubahan cara berpikir
saya tentang cara kita melaju dalam kehidupan. Seringkali kita melaju terlalu kencang
karena obsesi pertumbuhan, kemajuan, atau apapun itu hingga lupa melihat
kanan-kiri. Oleh karenanya, hingga hari ini saya tak pernah lupa akan cerita
itu. Akan pelajaran itu.
Demikianlah semestinya kita hidup bersama. Seperti Pak
Hasyim, yang bahkan memikirkan perasaan tetangganya saat melihatnya terlalu ngebut
maju sendirian. Bukankah sebenarnya sah-sah saja untuk punya mobil? Wong
untuk menyenangkan keluarga. Toh untuk menjalankan usaha juga. Toh uangnya uang
sendiri dan halal pula. Tidak salah dong beli mobil dengan kondisi dan
alasan-alasan masuk akal itu?
Iya memang tidak salah. Tapi bukankah hidup itu bukan
hanya perkara benar–salah saja? Sedemikian komprehensifnya hidup, sehingga
disana perlu juga dimensi kepedulian, kebijaksanaan, dan pastinya cinta.
Matur
nuwun Pak Hasyim.
Aku padamu.
Aku padamu.
www.percik.id
BalasHapusMobil