PERCIK.ID- Salah satu pelajaran terbaik yang
saya dapatkan setelah menjalankan kegiatan dagang adalah tentang pentingnya
menjaga cashflow, atau perputaran uang. Pengelolaan pemasukan versus
pengeluaran menjadi begitu krusial karena berkait langsung dengan seberapa
banyak profit atau kas yang dapat disimpan. Besarnya kas tersebut, kemudian
menjadi salah satu ukuran utama pertumbuhan perusahaan disamping banyak faktor-faktor
lainnya.
Prinsip menyimpan kas, baik
dalam skala perusahaan maupun pribadi, kurang lebih sama saja. Tata
pengelolaannya mengikuti kaidah yang begitu umum dalam masyarakat kita, yakni
pasak jangan sampai lebih besar daripada tiangnya. Untuk bisa menambah kas dan
aset, sebisa mungkin jangan sampai pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Mudah kan? Iya mudah, teorinya.
Tapi apakah sederhana penerapannya? Jelas tidak!
Pertama, beberapa dari kita kadang
harus menjalani episode minus, pengeluaran lebih besar dibanding
pemasukan. Dalam kasus ini, menekan pengeluaran tetaplah penting. Tapi sepol-polnya
kita menekan pengeluaran, jika memang harus keluar, mau bagaimana lagi. Maka
strategi yang harus dikemukakan jelas bukan lagi sekedar menekan pengeluaran,
tapi juga memperbesar pemasukan. Ini saja sudah menjadi PR yang menjelaskan
betapa urusan di atas, tidak melulu semudah teorinya.
Kedua, mereka-mereka yang
sudah dalam kondisi surplus, yang tak pusing lagi memperbesar pemasukan,
mungkin sudah merasa tenang karena urusannya tinggal bagaimana menekan
pengeluaran. Memang kebanyakan dari kita mampu mengatur pengeluaran supaya
tidak melebihi pemasukan. Tapi buwanyak sekali yang gagal dalam hal
ini: menekan trend pengeluaran. Ini yang susah dan rupa-rupanya
sudah banyak menelan korban.
Maksud trend pengeluaran
adalah begini, ketika njenengan punya income 20 juta, maka
ekspektasi pembelanjaan njenengan mungkin akan ada pada kisaran angka 15 juta.
Ya misalkan pengen sepeda motor, angan-angan njenengan ada di seputaran Beat
Pop, atau ya mentok-mentok Vario 150 lah kalau mau rada gaya. Tapi akankah angan-angan
yang sama muncul ketika njenengan punya pemasukan 50 juta? Rasanya kok tidak.
Ketika income sudah ada pada
angka 50 juta mungkin njenengan sudah berpikir CBR 150, Ninja-R, atau
paling tidak Kawasaki SE 175 yang retro namun kekinian itu. Ini lho yang
menjebak! Ketika trend pendapatan naik, maka trend pengeluaran akan cenderung ikut
naik. Sekali lagi, mungkin njenengan sudah merasa sukses dengan menekan
pengeluaran terhadap pendapatan. Tapi jika contoh diatas terjadi juga pada njenengan,
maka dalam hal growth saving, prestasi njenengan belum paripurna. Mungkin
inilah alasan kenapa net worth kita begitu-begitu saja, anteng diam di tempat.
Maka, disinilah pentingnya
ilmu “eling lan waspodo”, nuladani contoh Kanjeng Nabi dan para
Sahabat, sebagian dari mereka adalah golongan yang kekayaannya bejibun tapi
nilai pembelanjaannya minimal sekali. Atau bahasa akuntansinya low cost to
net worth ratio. Pengeluaran sangat minim dibandingkan dengan kekayaan yang
dimiliki. Bayangkan, model pengelolaan seperti apa yang membuat seorang dengan net
worth lebih dari dua trilyun rupiah tampil sekedar dengan kain seharga
empat dirham atau sekitar 15 ribu rupiah.
Sayangnya, generasi hari ini
menomorsatukan tampilan agar terlihat punya. Buru-buru pengeluaran, sedangkan
pemasukan belum seberapa, apalagi aset dan kekayaan. Padahal yang kaya asli,
asetnya banyak seperti Sahabat Nabi tadi saja santai berpenampilan. Justru
dengan menekan cost belanja, kekayaan dapat diarahkan pada investasi-investasi
yang bisa dipetik dikemudian hari, yang bahkan hingga hari ini masih atas nama
beliau: Utsman bin Affan.
www.percik.id
BalasHapusPasak dan Tiang