PERCIK.ID- Terkenal sekali ucapan Nabi Muhammad saw, "Ambillah hikmah
dan jangan engkau hiraukan dari mana ia keluar." Sayyidina Ali "sang
murid" punya ungkapan selaras, "Ambillah hikmah walaupun keluar dari
mulut orang munafik."
Apa itu hikmah? Dalam bahasa kita, kita menggunakan kearifan untuk
menerjemahkannya. Lalu, apa itu kearifan? Kearifan adalah pengetahuan tentang
keseluruhan, kata Aristoteles. Adalah pengetahuan yang luwas, luwes, mendalam
dalam istilah guru saya, Gus Luthfi. Plato, yang merupakan murid dari
Aristoteles kemudian membagi dua macam kearifan, kearifan spekulatif dan
kearifan praktis. Yang pertama disebut shopia; yang kedua, phronesis.
Ketika Platonisme (termasuk Aristotelianisme) masuk ke dunia Islam, kaum Muslim
menerjemahkan kedua istilah kearifan ini ke dalam kata Arab al-hikmah.
Maka, pada zaman keemasan pemikiran Islam, para filosof disebut hukama'
(ahli hikmah); sementara ahli imu syariat disebut fuqaha' dan ahli imu
ruhani disebut 'urafa'.
Kata senantiasa mengalami perkembangan atau pergeseran makna
seiring berjalannya waktu. Demikian al-hikmah, dalam perkembangannya
juga dipakai untuk menunjukkan ilmu ruhani atau yang biasa disebut ilmu ma'rifah.
Ibnu 'Arobi memberi judul salah satu kitabnya dengan Fusush al-Hikam
(Mutiara al-Hikmah). Berbeda lagi ketika di zaman al-Ghozali, kata al-Hikmah
mengalami degradasi dan distorsi makna yang serius dengan diartikan sebagai
ilmu gaib dan klenik, sebagaimana ditulis al-Ghozali dalam "Kitab
al-'Ilm, Ihya 'Ulumuddin, "Nama Ahli hikmah ditujukan pada tabib,
penyair, dan ahli nujum, juga orang-orang yang melempar undian di tepi jalan
besar."
Kata al-Hikmah itu sejatinya tidak sepenuhnya "ciptaan"
para filosof. Kata ini terdapat dalam al-Qur'an dan tentu saja al-Hadits, yang
salah satunya saya kutip paling atas. al-Hikmah sering berangkai dengan kata al-Kitab
sebagai pengetahuan yang dibawa oleh para utusan Allah, digabungkan dengan
kekuasaan sebagai kualifikasi pemimpin, serta disebutkan ketika Allah
menjelaskan hukum-hukum-Nya. Itulah sebabnya para mufassir
tidak sepakat dalam menafsirkan
al-Hikmah.
Kalau kita cukup seksama ketika membaca hadits Nabi tadi, kita
akan menemukan penekanan pada kalimat "jangan engkau hiraukan dari mana ia
(al-hikmah) keluar". Sangat selaras dengan ungkapan Sayyidina Ali,
"walaupun keluar dari mulut orang munafik."
Dengan perintah itu Nabi saw. sedang mengajarkan keterbukaan
sekaligus melatih mentalitas —cara berpikir dan merasa— kita untuk tidak dibuat
risau oleh "wadah". Keterbukaan punya resiko yang harus kita
tanggung.
Ambillah sebutir telur meskipun ia keluar dari dubur ayam yang
kotor dan bau. Dalam hal telur, kita bisa dengan mudah mempraktikkannya, sebab
telur jelas manfaatnya dan kita tidak perlu berinteraksi dengan dubur secara
langsung. Kita menunggunya tersedia di tarangan dan mengambilnya, tanpa perlu
mantengi kedat-kedutnya silit pitik.
Lain soal ketika al-hikmah itu ada pada ucapan atau perilaku orang
yang kita benci, orang yang berbeda ormas agama atau agamanya dengan kita,
orang yang tak sebudaya atau senegara dengan kita, atau tak sewarna kulitnya,
dan tak sama bahasanya. Ringkasnya, ada semacam kecenderungan narsistik pada
diri kita.
Mungkin itu sebabnya pedagang-pedagang Madura itu sering
membedakan harga untuk sesama orang Madura dan orang Jawa. Mereka menganggap
secara sadar atau tidak, bahwa orang Jawa tidak lebih dekat hubungan saudaranya
dibanding sesama orang Madura. Meskipun orang Jawa-nya tidak cerewet menawar
dan saudara sepulaunya itu sebaliknya. Hal demikian disebabkan karena perhatian
kita sempit dan terbatas. Pada selembar foto berisi kita dan teman-teman kita,
ketika meilihat foto tersebut, wajah kitalah yang pertama kita cari.
Kita cenderung melihat sifat-sifat baik hanya ada pada objek
perhatian kita. Begitu juga dengan keindahan dan kebenaran, menjadi sangat
terbatas. Maka ketika kita milihat objek di luar "lingkaran terbatas"
itu, kita sukar menemukan kebaikan, keindahan dan kebenaran. Lingkaran di luar
kita itulah yang dilarang Nabi saw. untuk kita risaukan.
Kebanyakan dari kita sedang mengidap itu sekarang. Ketika ada
sebuah pesan/kritik kepada penguasa yang kita dukung dan cintai, kita enggan
menerimanya sebagai bahan evaluasi dan istrospeksi, alih-alih bersegera
membalasnya dengan caci maki atau minimal diam sambil menamam
kecurigaan-kecurigaan. Milton Rokeach, seorang psikolog asal Polandia-Amerika
merinci beberapa ciri kepribadian tertutup, yaitu menilai suatu pesan
berdasarkan motif pribadi, bukan berdasarkan data dan konsistensi logis, serta
bersandar pada sumber pesan (wadah/apa/siapa) daripada isi pesan yang
disampaikan. Untuk hal ini sebenarnya kita punya khazanah sendiri yang jauh
lebih klasik, “Undzur mâ qôla walâ tandzur man qôla”. "Lihatlah apa
yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan."
Mengambil al-Hikmah dari mana saja itu ternyata bukan perkara
mudah. Dibutuhkan pribadi yang terbuka, yang untuk itu harus dewasa mengakui
kekurangan sehingga mampu melihat kelebihan pada "yang lain."
www.percik.id
BalasHapusRisiko Keterbukaan