PERCIK.ID- Selepas wafatnya Rosululloh saw., seorang badui
menemui Ali bin Abi Tholib untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang cuma dijawab
dengan tangis sesenggukan oleh Abu Bakar, Umar & Bilal.
"Ceritakan padaku akhlak Muhammad!"
Ali tidak bercerita dan balik berkata,
"Ceritakan padaku keindahan dunia ini!"
"Mustahil! Tentu tak bisa kuceritakan segala
keindahan dunia"
"Kalau dunia yang Alloh sifati kecil dan
senda gurau belaka saja tak bisa engkau ceritakan kendahannya, bagaimana aku
mampu melukiskan akhlak Nabi Muhammad saw. yang Alloh berfirman bahwa pada
dirinya ada budi pekerti paling agung?
Badui tak merasa puas dengan jawaban Ali. Ia terus
menemui istri Nabi saw., Aisyah r.ha. dan beroleh jawaban "Khuluquhul-Qur’an
(Akhlaknya itu adalah al-Qur'an). Badui ini masih merasa tak puas, kemudian
Aisyah r.ha. menyarankannya untuk menyimak surat al-Mukminun 1 sampai 11.
Saya kutipkan fragmen di atas sebagai mukadimah
untuk menelaah dan memahami betapa akhlak Nabi saw. itu susah sekali untuk
dijelaskan dengan sederhana. Sebab, pada tiap gerak; gerak lisan, gerak badan,
gerak hati dan pikiran, seluruhnya adalah keindahan.
Bagaimana kita bisa memahami, pribadi yang penuh
dengan wibawa, pesona serta kehormatan itu bisa sekaligus adalah pribadi yang
sangat humanis dan humoris?
Nabi saw. memiliki Sahabat bernama Nu'aiman bin
Rufaah yang turut dalam berbagai pertempuran bersama Nabi. Nu'aiman terkenal
gemar bercanda sehingga dalam satu riwayat dikabarkan, Nabi berkata bahwa
Nu'aiman akan masuk surga dengan tertawa. Sebab, ia kerap membuat Nabi
sumringah dengan candaanya.
Dalam kitab Asad al-Ghabah fi Ma'rifat as-Shohabah
karya Mubarak bin Muhammad ibn al-Atsir ada kisah lucu perihal sahabat yang
satu ini. Karena sudah sama-sama bagaimana mengerti watak dan perilaku Nu'aiman
yang konyol, para sahabat bersepakat untuk mengerjainya, sewaktu Nabi ditamui
oleh seorang Badui yang mengikat untanya di depan Masjid Nabawi.
Salah seorang sahabat berkata kepada Nu'aiman,
"Bagaimana kalau engkau sembelih unta ini, kami ingin sekali malan daging
unta, biar nanti Rasulullah yang mengganti." Tanpa pikir panjang Nu'aiman
langsung menyembelihnya. Kagetlah si Badui ketika keluar dari masjid mendapati
untanya yang telah mati.
"Muhammad!" Teriak si badui,
"Untaku disembelih!"
Nabi bergegas keluar menemui orang-orang yang
sedang berkerumun di halaman masjid.
"Siapa yang melakukan ini?" Tanya Nabi.
"Nu'aiman," jawab mereka kompak.
Meraka pun ramai-ramai mencari Nu'aiman yang
bersembunyi, sampai akhirnya Nabi memergokinya.
"Mengapa engkau lakukan ini?"
"Orang-orang yang menunjukkan tempat
persembunyianku inilah yang menyuruhku melakukannya, Ya Rasulullah"
Nabi seketika tersenyum sambil mengusap wajah
Nu'aiman yang berdebu. Kemudian Nabi menganti unta si badui itu.
Nampaknya, sifat Nabi yang humanis dan humoris ini
benar-benar diwarisi oleh para kiai. Gus Dur, ketika masih nyantri di Kiai
Khudori, Tegalrejo pada medio 1950-an sering melakukan kenakalan-kenakalan khas
santri. Suatu hari Kiai menyitir satu ayat dari al-Quran, "Wa lillahil
masyriqu wal maghrib", "Sejatinya yang ada di timur dan di barat,
seluruhnya adalah kepunyaan Allah swt."
Selepas mengaji, Gus Dur mengajak satu kawannya
untuk nyolong kambing kiai.
"Lho, Gus, memangnya tidak apa-apa?
"Kan tadi Kiai bilang kalau semua yang di
timur dan di barat itu hakikatnya semuanya milik Allah."
"Iya ya."
Sambil mengendap penuh kewaspadaan, keduanya
menuju kandang kambing milik Kiai. Sialnya, mereka kepergok dan langsung diiterogasi
oleh Kiai.
"Kalian ini bagaimana, kambing saya kok mau
dibawa, mau kalian sembelih?"
"Nggih, Kiai. Lha tadi njenengan bilang kalau
"Wa lillahil masyriqu wal maghrib".
"Oalah, walillahi ya walillahi, tapi mbok ya
jangan gede-gede, ayam kan bisa!"
Bisakah Anda melihat kesamaan kisah Nu'aiman dan
Gus Dur di atas? Bagaimana Anda mengimajinasikan sikap Rosulullah terhadap Nu'aiman
yang bukannya marah-marah melainkan justru tersenyum? Bagaimana juga imajinasi
Anda terhadap para sahabat yang seolah tidak merasa sungkan mencandai Nabi yang
mereka hormati? Bukankah itu pertanda bahwa betapa Nabi saw. memosisikan
dirinya diantara para sahabatnya dengan begitu rupa sehingga timbul
"husnudzhon" atau prasangka baik pada diri para sahabat sehingga
mereka yakin bahwa dengan dicandai seperti itu, tak akan membuat Nabi marah.
Hal itulah yang terjadi kepada Gus Dur, ia yakin,
amat sangat yakin, bahwa Kiai tak mungkin marah kalau kambingnya ia curi dan
sembelih. Sebab, teladan sang Kiai adalah Nabi yang pribadinya adalah
keindahan, keindahan, dan keindahan.
www.percik.id
BalasHapusCeritakan Padaku Akhlak Muhammad!