PERCIK.ID- Berdagang, sekalipun berpotensi menjadi sebaik-baik
pekerjaan, nyatanya tetap tidak mudah ketika dijalankan. Bukan saja sulit secara
teknis pada pemahaman produk yang dijual, metode penjualan atau marketing,
skema kerjasama dengan investor dan pelanggan, atau tentang yang utama seperti cashflow
usaha. Tidak saja tentang semua itu.
Penguasaan skill teknis berdagang seperti di atas
boleh jadi akan banyak membantu kesuksesan usaha dagang, tapi bukan pada
perkara itu kesulitan utama menjalankan pekerjaan ini. Tantangan terbesarnya,
menurut saya, justru ada pada kontradiksi antara fitrah kita sebagai manusia
dengan tujuan bisnis yang seringkali tidak sejalan satu tujuan.
Ihwal dagang, semulia-mulia niatan pelakunya, tetap ada
sasaran keuntungan. Ada hitung-hitungan untuk bisa terus berjalan, dan untuk
mencapai itu, salah satu jalan utamanya adalah dengan memperoleh faedah,
alias profit, alias keuntungan. Maka perkara untung-rugi menjadi yang utama
jika kita berbicara bisnis. Kalaupun tidak menjadi yang pertama, pebisnis yang
baik tidak mungkin tidak memikirkan keuntungan.
Pada saat yang sama, pelaku bisnis adalah manusia yang
sejatinya memiliki kosmos lain dalam dirinya yang sifatnya lebih dari sekedar
perilaku untung-rugi. Sebutlah misalkan: kepekaan, kepedulian, tenggang rasa, tepo
seliro, tolong menolong, welas asih, dan banyak sifat mulia lainnya
yang secara dafult memang sudah ada dalam diri manusia.
Semua bakat mulia dalam diri manusia tadi agaknya
bertentangan dengan lingkungan bisnis yang begitu transaksional. Spirit tulung
tinulung misalkan, sering mendapat bumbu-bumbu pertanyaan semacam, “wani
piro?!”, atau. “yo nek regone cocok, budal!” dan hal-hal semacamnya.
Semua bergantung uang. Semua kembali kepada uang. Tanpa uang tiada barang,
apalagi pertolongan. Kemuliaan cinta kasih manusia menjadi kusam dan tak tampak
karena tertutup kotoran dari kubangan untung-rugi yang dimasukinya.
Memang tak sepenuhnya kesalahan pribadi-pribadi
manusianya. Dalam arti, terkadang perilaku transaksional demikian, sekalipun
menunjukan peradaban paling rendah, mau tak mau harus dijalani karena tidak ada
lagi tempat kokoh berpijak buat mereka yang teguh memegang prinsip-prinsip dan
nilai-nilai keutamaan hidup. Jikapun kita hari ini berusaha sekuat tenaga
menolong orang lain, kadangkala orang tersebut justru sangat itung-itungan kepada
kita. Ndak ketemu, kan?
Belum lagi sistem ekonomi juga melibatkan pelaku-pelaku
industri kelas kakap, yang membuat semakin besar dan dalam kubangan kapitalisme
itu. Dalam sistem bisnis dan perdagangan besar tersebut, manusia hanya menjadi
salah satu aspek produksi saja. Kalaupuna ada manusia yang berposisi dan
berfungsi sebagai manusia, tak lain tak bukan adalah pemilik modal itu sendiri.
Selebihnya, manusia-manusia diperlakukan sebagai asset, alat produksi, dan
salah satu variabel dalam hitung-hitungan untung-rugi perusahaan.
Dalam atmosfer yang sedemikian pekatnya dengan polusi
kapitalisme, musykil bagi kita untuk bisa bernafas dengan udara segar yang
berisikan nilai-nilai kehidupan. Kotoran cara berpikir transaksional menyebar
sedemikian luas dan cepatnya sehingga semua orang terkena najisnya.
Pada akhirnya, barangkali kita hanya bisa berkilah bahwa
Tuhan Maha Baik dan tidak akan menuntut kita untuk melakukan hal-hal istimewa,
namun mengharuskan kita melakukan tugas kewajiban kita dengan sebaik mungkin.
Jika kita adalah bagian dari masyarakat Madinah di zaman Rosululloh yang dapat
menjalankan sholat malam setiap harinya, maka itu adalah kewajaran. Namun jika saat
ini, kita bisa tertib lima waktu ke masjid dengan tetap menjalani hidup di zaman
edan seperti ini, maka itu sudah luar biasa.
Mungkin demikian halnya dengan berdagang. Jikapun kita
harus menjalankan pekerjaan dagang dalam lingkungan peradaban rusak abad ini,
jangan sampai fungsi manusia kita terdegradasi menjadi manusia dagang, atau
lebih buruk dari itu, yakni sekedar menjadi pedagang, manusianya sudah tak ada
lagi.
Tetaplah menjadi manusia, sekalipun berdagang.
www.percik.id
BalasHapusManusia Dagang