PERCIK.ID- "al-Ghozali mengatakan
bahwa perselisihan di dunia ia diakibatkan oleh tak mampunya kaum bodoh
berhenti menanggapi hal yang tidak ia kuasai. Namun, dalam kondisi saat ini,
agaknya problem ini juga disebabkan ketidakmampuan para pakar untuk memenangi
pertarungan pengaruh di ruang publik" Alissa Wahid (Udar Rasa, Kompas.
Minggu, 7 Juli 2019)
Ada empat kategori yang
dibuat oleh Imam Ghozali mengenai kondisi manusia. "Ada orang yang tahu,
dan tahu bahwanya dirinya tahu. Ada orang yang tahu, tapi tidak tahu bahwa
dirinya tahu. Ada orang yang tidak tahu, dan tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dan
ada orang tidak tahu, tapi dirinya tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu."
Dari empat kategori tersebut,
yang paling menjengkelkan adalah yang ke-empat. Dia tidak tahu, tapi tidak
sadar bahwa dirinya tidak tahu. Orang jawa menyebutnya dengan kata yang simpel,
"keminter!"
Bahkan ada yang dengan sangat
pede berperan sebagai ahli. Na’asnya, banyak pula yang percaya dan iya iya saja
dengan apa yang dikatakan. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal penting,
tentu ini tidak baik. Misalnya soal hukum, atau soal menalar sesuatu. Di era
ini, yang menjadi ruang publik kebanyakan orang, termasuk orang semacam itu
adalah dunia maya.
Tapi kita kemudian juga mesti
melihat dari sisi yang lain. Betapa ternyata, ilmuwan yang mumpuni keilmuannya harus
punya cara untuk mengambil peran sebagai counter “orang-orang keminter” yang
bermetaforfosa menjadi idola. Salah satunya dengan mengambil peran di ruang publik
bernama sosial media.
Sebab sosial media telah menjadi
dunia kedua yang tak kuasa dilepaskan. Mau tidak mau, harus ada yang terjun
untuk menunjukkan kebenaran yang semestinya harus dipublikasi. Yang urgen sekarang
salah satunya adalah masalah agama.
Munculnya Gus Baha’ (atas
kuasa Alloh) adalah angin segar yang luar biasa dalam kejernihan ajaran islam,
serta kejernihan menalar sesuatu. Tentu tak banyak orang semacam beliau. Tapi
bukan berarti tak ada.
Di Indonesia, orang-orang
yang menguasai agama mumpuni mayoritas merupakan jebolan pondok, dan tentu yang
mengajar di sana. Sayangnya, orang-orang pesantren dengan ke’alimannya,
biasanya lebih menutup diri pada lingkungan pesantren saja, tanpa mau keluar
terlalu jauh. Bahkan masih banyak yang tidak mau tahu soal seluk belum dunia
maya, cum sosial medianya.
Atau mereka yang sudah
bersosial media, tapi sebagai hiburan saja. Dengan ketawadlu’annya, mereka sama
sekali tidak show a force dengan ilmu yang dimiliki. Maka tentu yang bertugas
kemudian adalah orang-orang yang mendapatkan ilmu dari beliau-beliau yang terhormat,
untuk menshare ilmunya. Toh cara publikasi ke dunia sudah banyak
macamnya. Tinggal bagaimana dan pasnya seperti apa. Tentu saja atas kesediaan
dari guru tersebut. Karena beberapa orang memilih enggan muncul ke publik
dengan cara apapun.
Bagaimana pun, para ahli menguasai
ruang publik terbilang penting untuk “melumpuhkan” logika, nalar, dan
pengetahuan yang melenceng. Apalagi sekarang yang menjadi rujukan orang mencari
sesuatu adalah internet. Bagaimana mungkin kemudian para pakar dan ahli
meninggalkan ruang ini?
Untuk menjadikan segala sesuatunya
kondusif, penting ruang-ruang berada di tangan orang yang kompeten. Menguasai ruang publik
bagi ahli dan pakarnya adalah satu keharusan yang harus diusahakan. Bukankah rusaknya
segala sesuatu karena tidak dihandle oleh ahlinya?
www.percik.id
BalasHapusMenguasai Ruang Publik