PERCIK.ID- Tujuh belas tahun lebih
beberapa bulan dari umur saya, saya habiskan tinggal di desa. Di bulan mulud (Robi'ul
Awal), ada sebuah riwayat yang diulang-ulang oleh Yai Muchith -nama Kyai saya di
desa- setiap mengisi ngaji dalam meneladani budi pekerti Nabi Muhammad saw.
"Sesungguhnya aku (Muhammad)
diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Setelah beliau membacakan riwayat
ini -arab dan terjemahnya- baru beliau bercerita panjang kali lebar perjalanan
hidup dan akhlak Rosululloh saw. Ingatan saya tertuju pada kisah Rosululloh saw.
menghadapi umat yang masih belum bisa menerima bahkan menentang keras ajaran
beliau -yang mungkin sekarang akan mendapat cap "penista agama".
Yai Muchith pernah bercerita
bagaimana Umar bin Khoththob r.hu, yang awalnya ingin membunuh Rosululloh saw. Mendengar
adiknya memeluk islam, kemarahannya semakin menjadi. Dia mendatangi adik perempuannya,
untuk menanyakan secara langsung perihal keimanan dan agama yang dianutnya waktu
itu.
Sementara itu, di lain kesempatan,
Nabi mendo’akannya agar diberi petunjuk untuk masuk islam. Do’a yang ditujukan kepada
dua Umar, Umar bin Khoththob dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal).
Ringkas cerita, ayat al
Qur'an yang didengar di rumah adiknya, menuntunnya untuk bertemu Rosululloh saw.
Kedatangan Umar tentu membuat para sahabat ketakutan, takut akan keselamatan Rosululloh
saw. Namun, kepada orang yang berencana membunuhnya, Rosululloh saw. mengulurkan
tangannya dan menerima syahadatnya. (Saya membayangkan dari kisah yang disampaikan
Yai, sepanjang perjalanan Umar pasti memaki-maki Rosululloh saw., mengumpatnya
dengan umpatan khas tanah Arab).
Seperti yang tertera dalam
sejarah, beliau tidak hanya jadi mertua Nabi. Beliau tercatat sebagai Kholifah
kedua -melanjutkan estafet kepemimpinan mertua Rosululloh yang lain, Abu Bakar ash-Shiddiq r.hu.-
Di masa Abu Bakar, beliau terkenal sebagai pengusul pembukuan al-Qur'an. Beliau
pun sempat marah ketika mendengar kabar kematian Nabi.
Lalu bagaiamana dengan nasib Abu
Jahal? Abu Jahal tetap mati tanpa Iman. Namun, putranya Ikrimah bin Abi Jahal,
kelak akan dikisahkan berulang-ulang dalam kelas sejarah sebagai salah satu panglima
Islam.
Ingatan pada ngaji bareng Yai
ini, menimbulkan pertanyaan, di masa yang konon semakin banyak "penista
agama" ini, sudahkah kita mendo’akan mereka agar diberi hidayah? Atau
barangkali kita sudah mendo’akan dan menyebut-sebut nama-nama mereka di setiap
halaqoh, (hanya) agar semua orang tahu, bahwa kita sudah beragama lebih (baik)
dari mereka? Semoga tidak.
Semangat bulan mulud, harusnya
keteladanan semacam ini -yang tumpah ruah kisah bagaimana akhlak Rosululloh
yang Qur'ani sekali- harus diulang-ulang. Barangkali segala kebathilan yang semakin
marak adalah buah kealpaan kita dalam meneladani segala yang bersandar pada Rosululloh
saw. Sebagian dari kita masih berhenti di lapisan dhohir dari ibadah. Menjalankan
syarat rukun, ibadah jadi sah, mendapat pahala, sudah. Sementara ibadah itu tak
membuat kita mengikuti Rosululloh saw, tak membuat takut bahwa ibadah itu hanya
sebatas pemenuhan syarat rukun, bukan murni seperti di penghujung niat kita "lillahi
ta'ala". Sehingga selepas sholat, membuat kita merasa cukup untuk tidak
beristighfar. Lebih jauh, karena ego kita untuk masuk surga sendiri, kita juga alpa
mendo’akan siapa saja, ditetapkan iman bagi yang sudah beriman, diberi petunjuk
bagi mereka yang belum ditetapkan iman.
Di jaman sosial media bisa menjadi
media mengungkapkan isi kepala, kita lebih suka langsung njujuk ke
"watawashow bil haqqi wa tawashow bish shobri". (sok) Menjadi
pengingat di kolom status, story dan komentar. Terkadang hal itu tanpa didahului
dengan menjadi "alladzîna âmanû" dan
mau "wa amilush shôlihât".
Hadis "sampaikanlah
walau satu ayat" membuat kita sembrono. Alih-alih menyampaikan hal yang
baik, seringnya di antara kita, memaksakan hal baik menurut kita agar diterima
mutlak oleh orang lain. "Maaf sekedar mengingatkan" jadi enteng
disampaikan, tapi sulit diterima diri sendiri.
Rangkaian peristiwa
akhir-akhir ini membuat saya teringat pada Yai Muchith, Yai saya di desa. Beliau
tidak hanya menyuruh orang untuk berbuat baik, beliau juga berada di garis
terdepan dalam berbuat baik. Beliau ber-"amilush shôlihât" dulu, baru ber-"watawashow bil haqqi wa tawashow
bish shobri". Kesunyian beliau dari publikasi dan dokumentasi, semakin
membuat saya ingin menuliskan ingatan ngaji bersamanya.
Ingatan ini berbuah pertanyaan
pada diri saya sendiri, kira-kira saya yang sedang ber "wa tawashow"
ini, sudah ber "amilush shôlihât "? Atau
jangan-jangan...?!!
Astaghfirullôha min qoulin bilâ ‘amalin.
www.percik.id
BalasHapusMuludan Bersama Yai Muchith