PERCIK.ID- Manusia modern memiliki
pendekatan yang berbeda dengan pendahulunya dalam hal memahami alam semesta
berikut cara kerjanya. Dalam tradisi lama, manusia mempercayai bahwa alam
semesta memang sudah demikian apa adanya. Pakemnya sudah ada dan sudah
diketahui. Jikapun kita tidak tau, itu karena individunya yang memang belum
berpengetahuan. Segala hal sudah ada ilmunya, hanya akses padanya kadang tidak
ditempuh.
Berbeda dengan manusia modern
hari ini yang berpikir bahwa kita mungkin sudah berpengetahuan, namun belum
semua hal kita ketahui secara pasti. Bahkan dengan pemikiran terbuka demikian,
pengetahuan yang kita yakini kebenarannya pun bisa gugur karena adanya
kebenaran lain yang terungkap. Tidak ada konsep, ide, ataupun pengetahuan yang
paten di era ini.
Dengan cara berpikir seperti
itu, manusia modern akan selalu mencari pengetahuan baru untuk bisa memahami
pola kerja alam semesta. Hal itu ditempuh dengan melakukan observasi tanpa
henti. Mengamati, meneliti, menemukan pola, hingga menjadikan rumus-rumus baku
dan pengetahuan saintifik. Teori-teori saintifik tersebut menjadi lebih
powerful ketika dibahasakan menggunakan perangkat bahasa paling suci, yakni
matematika.
Bahasa matematika yang dapat
menghubungkan teori pengetahuan dengan hasil pengamatan akan terus menghasilkan
teori baru dan bahkan lebih dari itu, akan tercipta teknologi-teknologi baru.
Demikian seterusnya hingga pengetahuan akan alam semesta semakin terkesibak
kebenarannya dan manusia semakin bisa memahami apa yang dapat dilakukan untuk
mengoptimalkan fungsi tata kelolanya.
Maka, apa yang telah ditempuh manusia modern hingga saat ini adalah suatu
hal yang sangat baik. Sebab dengan terus membuka tabir pengetahuan, mencari
cara terbaik mengelola alam, kehidupan dan sesama makhlukNYA, maka sejatinya
kita sedang berusaha untuk bisa sebaik-baiknya menjadi rohmatan lil alamin.
Sesuatu yang semestinya amat mulia.
Namun disisi lain ada potensi
bahaya yang harus kita waspadai dari kebiasaan modern yang begitu saintifik,
yakni terbentuknya pola pikir manusia yang tidak holistik. Menjadi lebih
rasional, lebih logis-matematis, sebab-akibat, dan pada beberapa kasus, bahkan
sangat berbasis material karena apa-apa harus bisa dibayangkan secara fisik.
Apa-apa harus masuk akal.
Harus masuk hitungan. Jika A maka B, sehingga jangan lakukan selain A jika mau
menuju B. Kalau bisa, segalanya terbayang dalam tataran langkah-langkah nyata
yang terukur. Jarang sekali manusia hari ini mengambil keputusan hidup pada
apa-apa yang dilandaskan pada sesuatu yang tidak linier seperti di atas.
Padahal nyatanya hidup lebih
dari ke-linier-an itu. Polanya bisa bebas kemana saja. Terjadinya tidak selalu
sebab-akibat yang sangat linier. Bisa berputar, bisa cyclical,
parabolic, atau bentuk-bentuk lainnya. Kalau tak percaya, bagaimana bisa kita
merasakan lega dengan menghabiskan tenaga, waktu, dan bahkan uang untuk
menolong saudara yang kesusahan? Atau bagaiman bisa kita merasa bahagia dengan
meninggalkan gaji besar untuk bisa mendapat waktu yang proporsional untuk
keluarga?
Secara logika rasional,
mengeluarkan uang-tenaga-waktu ya akan kehilangan sumber-sumber daya itu. Tapi
nyatanya tidak. Bahkan seringkali Tuhan kasih tidak cuma bahagia, tapi tambahan
proyek, tambahan kesehatan, tambahan ketenangan. Yang dengan itu akan bertambah
pula uang-waktu-dan tenaga kita. Ini kan berarti balik lagi to?! Cyclical alias
berputar!
Lalu bagaimana? Mengandalkan
rasionalitas dan kecerdasan saja membuat kita sering menemui jalan buntu,
sedangkan menyandarkan pada nurani dan spiritualitas saja bisa membuat fungsi kholifah
fil ard menjadi melempem.
Ya tentu yang benar adalah
sambung antar keduanya. Keterhubungan antara kepala dan hati, antara pikir dan dzikir,
antara logika dan perasaan harus terjalin seimbang dan saling cek and re-check.
Barangkali, inilah metode terbaik yang semestinya kita kemukakan diatas
hegemoni saintifik-metodologis-rasional yang seringkali cepat bikin beruban
lalu botak.
www.percik.id
BalasHapusPendekatan