PERCIK.ID- Seorang pengusaha, pemilik pabrik krupuk yang mendapat keuntungan
lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sudah
semestinya berpikir untuk memutar kembali keuntungan dagang tersebut. Kelebihan
keuntungan dijadikan modal tambahan untuk meningkatkan produksi pabriknya.
Dengan demikian, jumlah volume krupuk yang dihasilkan akan bertambah, lalu harapannya
bertambah pula penjualan dan profitnya kelak.
Pada saat kondisi tersebut tercapai, terbentuklah skema
bisnis yang ideal: keuntungan → modal tambahan → pengembangan bisnis → keuntungan tambahan. Demikian seterusnya
polanya berjalan siklikal sehingga pabrik semakin membesar dan membesar. Bertambah
sehat dan besarnya pabrik, selain berpotensi menambah keuntungan pengusaha,
juga semestinya berimbas positif pada kemakmuran masyarakat, sesederhana
misalkan penambahan gaji karyawan, atau bahkan mungkin ditariknya warga sekitar
pabrik untuk menjadi pegawai, sekalipun kadang hanya sebagai pekerja lepasan.
Hal ini berarti, pertambahan kekayaan pribadi si
pengusaha krupuk dari keuntungan bisnis yang diperolehnya, sejalan selaras
dengan pertambahan kemakmuran kolektif masyarakat oleh karena berkembangnya
pabrik dan usaha dagang. Dia yang kaya akan semakin kaya, dia yang miskin, juga
semestinya ikut kecipratan kaya. Inilah dia, salah satu logika dasar
kapitalisme.
Maka dalam paham kapitalisme, selain modal adalah kunci
untuk pertumbuhan dan perkembangan kemakmuran, ada satu hal lagi yang lebih
pokok: bahwa mengejar kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya adalah mubah,
sebab toh akan berimbas pada kemakmuran kolektif. Semakin kaya kita, semakin
makmur pula masyarakat. Kapitalisme mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang
bermanfaat bagi sesama, adalah dengan menjadi kaya sekaya mungkin. Artinya, menjadi
rakus adalah baik.
Egoism is altruism, egoisme adalah kepedulian dalam lingkungan kapitalis.
Tentu jauh berbeda dengan pemahaman akan kemakmuran yang
dimengerti Mas Saji, seorang tukang dari Nganjuk yang sering nglurug ke
Surabaya untuk bekerja membantu orang-orang kota yang serba manja. Buatnya,
kegugupan masyarakat kota dalam beberes pekerjaan rumah, mengecat tembok, atau
memperbaiki talang bocor adalah jalan rejeki yang bisa ditempuh ketika
kebutuhan datang menghadang.
Biasanya, dia hanya akan berangkat ketika memang ada
kebutuhan yang mendesak dan harus dipenuhi, atau kalau-kalau ada yang
menghubunginya untuk minta tolong sehingga mengharuskan dia berangkat memenuhi
tugasnya sebagai manusia untuk peduli dan membantu sesama. Sejauh pekerjaan dan
kewajibannya tunai, maka dia akan kembali pulang ke Nganjuk, seberapapun yang
dia dapatkan asal cukup.
Buatnya, uang dicari hanya ketika dibutuhkan. Atau
sekedar sebagai efek samping dari tugas dan fungsi kemanusiaan yang dia laksanakan.
Selebihnya, hidupnya memang bukan untuk mencari uang, apalagi
mengumpul-ngumpulkan.
Peradaban Mas Saji mungkin sudah lebih tinggi
dibandingkan kita yang sudah mengaku modern namun begitu lekat terikat akan
uang dan kekayaan. Disaat Mas Saji riang bahagia membawa pulang uang dua juta
yang cukup untuk satu bulan di kampungnya, kita sedang begitu gelisah dengan
tabungan puluhan bahkan ratusan juta yang entah cukup untuk berapa tahun
menjalani kehidupan di Jakarta sekalipun.
Tulisan ini tentu bukan bermaksud menjadi wacana
anti-kapitalisme atau kontra spirit melek finansial yang hari-hari ini hangat
digaungkan. Semangat financial planning berikut hitungan akan
kemungkinan-kemungkinan resiko, perlengkapan asuransi, sampai besaran tabungan
yang diperlukan untuk ‘bertahan hidup’ mungkin saja sangat masuk dengan
karakter budaya kapitalisme saat ini.
Namun, bagaimanakah kemudian Mas Saji melek finansial? Mungkinkah
bisa baginya membagi-bagi pendapatannya yang besarannya saja tak menentu? Atau,
mungkin pertanyaan yang lebih tepat, apakah perlu?
Barangkali, dari Mas Saji kita justru bisa belajar
tentang keberanian. Dikala semua orang membabi buta mengumpulkan
sebanyak-banyaknya, mungkin butuh ketegasan untuk menentukan batasan cukup.
Semata agar dunia yang ada pada kita, jikalau memang ada, menjadi jalan manfaat
dengan sebenar-benarnya. Bukan sekedar menjadi dalih menyebar manfaat, namun
aslinya ya pengen terus-menerus mengumpulkan-ngumpulkan kekayaan lalu mati
ditelan nafsu dan kealpaan.
www.percik.id
BalasHapusEgois yang Peduli