PERCIK.ID- Memahami suatu bahasa selalu
berkaitan mempelajari struktur
gramatikalnya. Tanpa mengetahui strukturnya, suatu kalimat tidak akan bisa
dipahami maknanya secara utuh.
Di sekolah dulu, teman-teman
tentu akrab dengan istilah semacam past tense, present tense, future, past
future, dan lain-lain. Ya, itu kita
terima dari materi pembelajaran grammar bahasa inggris. Dalam bahasa arab, ilmu gramatikal ini
dikenal dengan sebutan nahwu-shorof.
Nahwu dan
shorof. Kedua cabang ilmu ini, dalam
tingkat lanjut sebetulnya memiliki jalur pengkajian yang berbeda. Nahwu secara
umum lebih menyoal tentang pembahasan i’rob, dan berbagai
macam bentuk kata benda. Sedangkan untuk mengetahui seluruh derivasi dari kata
kerja, kita
memerlukan pelajaran ilmu shorof. Dua fungsi itu saling berkait erat satu sama lain, sehingga
antara ilmu nahwu dan shorof seolah
telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kita butuh
mempelajari nahwu untuk memahami shorof, begitu pun sebaliknya.
Bagi teman-teman yang
mengkaji ilmu dari kitab-kitab arab klasik "gundul", terlebih yang sedang study di pesantren,
memelajari nahwu-shorof adalah satu keharusan. Kita membutuhkan ilmu perangkat itu untuk membaca teks arab gundul
tanpa harokat, dan mengetahui maknanya
secara jangkep. Baik dari kitab-kitab hadis, kitab fikih, tasawwuf, atau kitab tafsir.
Tapi jangan salah. Apa ilmu
nahwu-shorof hanya diperlukan bagi
orang yang mendalami kitab
arab klasik saja? Ternyata tidak. Dalam banyak hal, terkhusus dalam ritual
ibadah, kita juga perlu memelajari cabang ilmu ini.
Untuk membaca al-Qur'an,
misalnya. Kita butuh nahwu-shorof, lepas dari apakah kita hendak mempelajari maknanya atau tidak.
Mengapa membaca al-Qur’an "saja" memerlukan nahwu-shorof ?
Ada beragam sebab. Tapi salah
satu yang paling penting adalah untuk mengetahui dimana harus berhenti dan
dimana harus memulai bacaan.
Ketika suatu ayat tidak habis
kita baca dalam satu tarikan nafas, kita tidak diperbolehkan secara spotan
mengambil nafas dan langsung melanjutkan lafadz setelahnya. Tetapi harus berhenti, lalu melanjutkan dengan
mengulang dari kalimat sebelumnya dengan tarikan nafas yang baru.
Ini bukan perkara remeh.
Karena pada ayat dan kalimat tertentu, pemberhentian dan pengulangan yang tidak
tepat malah bisa menimbulkan kekacauan makna.
Misalnya pada kalimat yang
terdiri dari fi’il -- fa’il -- maf’ul (predikat-subjek-objek), ketika
mengulang ya dari fi’il atau kata kerjanya. Akan menjadi cacat makna kalimat
yang kita baca, seandainya kita mengulang
hanya dari maf’ul atau objeknya saja.
Pada ayat dan kalimat tertentu bahkan diharamkan
memberhentikan bacaan disana. Seperti
pada ayat ke 26 surat al-Baqoroh
۞إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ
“Sesungguhnya
Alloh tiada malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu”.
Pada ayat di atas terlarang
hukumnya berhenti pada lafadz yastahyi. Sebab itu sama artinya dengan kita mengatakan, “Alloh
tidak punya malu”.
Juga
ayat ke 181 dari surat Ali Imron,
لَّقَدۡ سَمِعَ
ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ فَقِيرٞ وَنَحۡنُ أَغۡنِيَآءُۘ
“Sesungguhnya Alloh telah mendengar perkatan orang-orang yang
mengatakan: "Sesungguhnya Alloh miskin dan kami kaya".
Bayangkan
kalau seandainya kita berhenti pada pada lafadz qolu. Tidak mengulang,
dan lantas melanjutkan bacaan dari lafadz Innalloha. Itu berarti kita
mengungkapkan pernyataan bahwa “Alloh itu faqir, dan kami kaya.”
Berbahaya bukan? Karena waqof dan
washol sembarangan bisa menjadi masalah serius
Oleh sebab itu, mengingat
pentingnya hal ini, dalam kitabnya, al-Itqon fi ulumil Qur'an, Imam
Jalaluddin as-Suyuthi membahas panjang lebar persoalan waqof dan wasol dalam satu bab khusus
النوع الثامن والعشرون فى معرفة الوقف والإبتداء
Beliau mengatakan bab ini
fannun jalilun. Pembahasan yang sangat penting. Sekaligus juga menyertakan
beberapa pernyataan sahabat dan tabi'in tentang pentingnya mengenali waqof dan
washol.
Kata sahabat Ibnu Umar r.hu.,
“Sungguh ketika kami hidup di masa kami (sahabat) dulu, terdapat orang yang
mendapat karunia iman sebelum adanya al-Qur’an. Manakala turun suatu surat
kepada Nabi Muhammad saw., kami lantas memelajari tentang perkara yang halal
dan harom darinya. Serta mengkaji tentang bagaimana kami harus berhenti (waqof)
padanya seperti halnya kalian belajar al-Qur’an saat ini. Pada hari ini kami
juga menyaksikan orang yang mengenal Qur’an sebelum memiliki iman. Mereka
membacanya tanpa tahu perintah dan larangannya, dan bagaimana harus berhenti
(memilih waqof)”.
Mengomentari atsar dari
sahabat Ibnu Umar itu, Imam an-Nuhas berkata, “Ini menunjukan bahwa keseriusan
para sahabat dulu dalam memelajari waqof sama dengan ketika mereka menggali
(makna) al-Qur’an”.
Diriwayatkan, Imam Ali bin
Abi Tholib menafsiri ayat ke 4 surat
al-Muzammil “Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil”. Kata
beliau, makna tartil adalah tahu
tajwid, dan tahu waqof.
Imam an-Nukzawi berkata, “Bab
waqof itu sangat penting. Karena tanpa mengetahui itu, makna al-Qur’an tidak
akan bisa dipahami. Dan tidak bisa dilakukan istinbath (penggalian
hukum) syar’i, kalau tidak tahu dimana harus berhenti”.
Nah. Paling tidak, dengan
mempelajari nahwu dan shorof, kita bisa mengenali jenis dan kedudukan kalimat
dari ciri-ciri khususnya -bahkan ketika kita tidak mengetahui artinya sama
sekali-. Serta terhindar dari mengambil waqof atau washol yang tidak
tepat. Bukankah sangat indah kalau
rasa cinta ketika membaca kalamulloh di al-Qur’an disertai dengan ilmu dan pemahaman yang baik? Wallohu ‘a’lam
Deni Nashrulloh
Pemimpin Redaksi Bulletin Lembar Jum'at "al-Fath" fb
Tulisan Deni Nasrulloh yang Lain
Pemimpin Redaksi Bulletin Lembar Jum'at "al-Fath" fb
Tulisan Deni Nasrulloh yang Lain
www.percik.id
BalasHapusIlmu dan Cinta Membaca al-Qur’an(link)