PERCIK.ID- Kabarnya, kedewasaan dan kematangan karakter kepribadian
suatu bangsa, bisa diobservasi dari cara masyarakatnya menjalankan kegiatan
lalu lintas. Ya, jalan raya adalah tempat uji nilai paling mudah karena disana adalah
wahana bertemunya banyak kepentingan, perbedaan arah tujuan, karakter
pengendara, perbedaan kelas sosial, sampai tentunya yang utama, supremasi hukum
yang meregulasi semua itu.
Maka, lalu lintas yang berjalan dengan rapi,
tersistem, dan terstruktur yang bahkan berjalan tanpa perlu dikoordinasi, yang serba
otomatis karena telah merasuk ke alam bawah sadar setiap pelakunya, adalah
indikator mudah untuk mengukur kematangan dan kedewasaan sosial masyarakat. Tertib
lalu lintas, adalah cerminan dari proses panjang keberhasilan pendidikan,
manajemen tata kota, ketegasan sistem hukum, dan seterusnya yang kesemuanya membentuk
karakter kepribadian bangsa.
Tapi bukankah, Singapura, negara kecil yang berumur
tak jauh dari kita itu, tertib dan indah lalu lintasnya? Mungkin saja,
sekalipun dia berumur jagung, masyarakatnya telah mencapai kematangan dan
kedewasaan pada derajat yang baik. Atau ya, seperti yang sering kita dengar, boleh
jadi karena ketegasan regulasi yang bisa menumpas segala keteledoran. Yang
jelas, Singapura menjadi bukti bahwa terdapat ketidakterkaitan antara umur dan
kematangan pribadi suatu bangsa. Sekali lagi, hipotesa ini diambil sekedar dari
sisi pandang lalu lintasnya saja.
Sudah pasti Indonesia punya cerita yang berbeda
dengan Singapura, dan memang tak perlu lagi kita banding-bandingkan. Karena
toh, Sugimin yang sedang di Singapura bisa lebih tertib dibanding orang
Singapura itu sendiri. Tapi ‘kan, kematangan sosial masyarakat tak bisa diukur
dari satu dua oknum yang tertib itu, melainkan bagaimana kesadaran kolektifnya.
Jika Sugimin kembali ke tanah air, kemungkinan
besar kecerdasan lalu lintasnya akan meningkat pesat. Di kala berada di
Singapura, dia begitu lugu berlalu lintas tanpa perlu banyak berpikir, cukup
patuh sambil takut-takut, disini bisa dipastikan dia lebih merdeka. Dia tak
lagi terpatok aturan-aturan baku yang saklek, namun lebih pada praktik-praktik
aplikatif yang sangat kontekstual.
Dikala lampu zebra cross penyebrangan menyala
merah sambil berbunyi nyaring dan berisik tet-tot-tet-tot, Sugimin sadar
bahwa dia harus berhenti, mempersilakan pejalan kaki yang memang harus
diutamakan dibanding kendaraan bermotor. Namun betapa mangkelnya dia
ketika yang dia dapati penyebrangnya adalah juga sepeda motor!
Bahkan kadang diikuti rombong-rombong kaki lima,
ada lah satu dua pejalan kaki namun tetap saja tidak mencerminkan
sebagai yang paling berhak atas tempat penyebrangan tersebut.
Maka disini tidak lagi relevan untuk meninjau
kedewasaan dari pilihan berhenti tidaknya kita ketika lampu merah. Seperti
traumanya Sugimin, boleh jadi tindakan kebanyakan kita yang menerjang lampu
merah yang masih menyala, sebab kita sadar bahwa tak ada berbahaya atas
tindakan itu. Bahkan mungkin itu perlu dilakukan karena berhenti mendadak dapat
menimbulkan resiko lain yang lebih berbahaya.
Lalu lintas Indonesia menuntut kita untuk terus
dinamis berpikir dan dalam kesadaran penuh, tidak bisa serba kaku dan asal taat
aturan.
Kita memahami benar tujuan dibuatnya regulasi lalu
lintas, yakni agar aman dan selamat semua pengendara jalanan. Sedangkan
regulasi, baik berbentuk marka, lampu, pasal-pasal atau apapun itu, hanyalah
alat, masyarakat kita sudah paham dan sadar pada tingkat hakikat.
Sehingga boleh jadi, segala ketidaktertiban, nyelonong
sana-sini, dan semacamnya itu, adalah sebentuk kedewasaan yang sudah beyond standard.
Kita bahkan sudah lepas dari pakem-pakem umum yang membuat Singapura rapi
seperti itu tadi.
Kedewasaan kita ada pada tingkat cinta dan
kesadaran tujuan, melampaui sekedar aturan-aturan.
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Kedewasaan Lampu Merah Penyebrang Jala