PERCIK.ID- Beberapa waktu lalu, saya sempat
terlibat dalam diskusi hangat dengan teman kuliah yang mampir ke Surabaya
sepulang tugas dari Cepu. Tak tanggung-tanggung, kami berdiskusi perihal urusan
yang cukup serius, yakni tentang pendidikan anak.
Mungkin, kami sama-sama concern
pada urusan ini sebab memang sedang sama-sama menjalani episode sebagai ‘Bapak
baru’. Memiliki tanggung jawab anak yang semakin mendekati usia sekolah membuat
kami risau pada pendidikan yang terbaik. Apalagi dalam silang sekarut sistem
pendidikan yang rasanya akan semakin tak karuan dan tidak relevan.
Kami sudah sama-sama tau, apa
yang kurang lebih dibutuhkan ketika turun di dunia aplikatif. Pada ranah
pekerjaan misalnya, kita dituntut untuk cerdas secara utuh, lebih dari sekedar pintar
secara wawasan dan teori pengetahuan belaka. Ada aspek-aspek seperti pemahaman
pola kerja team, inisiatif penyelesaian masalah, penentuan strategi, kemampuan
mengambil keputusan, mengatasi kegagalan, dan banyak urusan-urusan lain yang
semuanya hampir tidak kita dapati dari bangku sekolah.
Perangkat-perangkat kemampuan
yang kira-kira sama juga akan sangat dibutuhkan dalam episode-episode sosial
kemasyarakatan, yang membuat seseorang cerdas dalam bergaul dengan masyarakat,
syukur-syukur dapat mencipta maslahat buat sekitar. Sedangkan, sekali lagi,
amunisi-amunisi social skill itu, tak pernah dibekalkan secara
struktural oleh sekolah formal.
Dari titik itulah kekhawatiran
kami terbit. Kita melihat ada gap antara apa yang dibutuhkan di dunia
pengabdian dengan apa yang dibekalkan oleh sistem pendidikan yang ada.
Inisiatif, misalnya. Menurut
teman saya, inilah nilai pembeda yang dia punya. Bahwa dia pintar, okelah. Tapi
toh banyak juga di kantornya yang tak kalah pintar darinya. Namun satu hal,
perihal inisiatif, dia yakin dia memiliki ketajaman yang berbeda.
Dari mana inisiatif itu
tumbuh? Menurutnya bukan dari sekolah, melainkan dia dapatkan itu dari Ibunya
yang terus menerus meng-encourage untuk bertindak demikian. Dari bangun tidur
sampai mau tidur lagi. Sejak melipat sprei sampai sekecil mendorong untuk lebih
dahulu menuntaskan segala sumbatan komunikasi dengan teman atau organisasi yang
diikutinya. Bertahun-tahun. Terus menerus. Bahkan diteladankan langsung oleh
Sang Ibu.
Setidaknya, itu mekanisme
proses penumbuhkembangan karakter inisiatif yang dia ingat. Dari keteladanan,
diikuti ketelatenan tanpa henti. Jadi bisa dibilang, inisiatif tumbuh dari
proses di rumah, tidak di sekolah.
Lebih jauh menyoal proses, ada
hal menarik yang sebelumnya telah saya sadari dan terkonfirmasi dari pengalaman
teman saya itu. Bahwa treatment yang persis, diberikan secara sama oleh
sang Ibu kepada kedua anaknya, teman saya dan kakaknya. Namun rupanya
memberikan hasil yang berbeda. Maka, ada catatan tambahan yang harus kita garis
bawahi, bahwa sekalipun prosesnya sama, masih ada variabel lain yang menentukan
keberhasilan membentuk excellent end product.
Yang ingin saya katakan, bahwa
ternyata bahan mentah juga berperan sangat krusial. Sejauh-jauh singkong diolah,
sekalipun dengan teknologi secanggih apapun, dia tak akan pernah menjadi keju.
Paling pol mentok jadi kripik atau thiwul. Keju hanya bisa diolah dari susu
sebagai bahan baku. Maka, proses harus lebih dahulu memahami bahan mentah apa
yang akan dikelolanya. Bagaimana mungkin, dengan bahan yang berbeda, kita
berharap hasil terbaik padahal proses yang diterapkan sama? Sedangkan sekolah-sekolah
kita saat ini, adalah cerminan besar dari penyeragaman proses tersebut. Ya, ndak?
Maka setidaknya kami
menyimpulkan dua hal penting perihal pendidikan anak. Kita wajib menemukan cara
mendidik yang tepat, yang mengajarkan ilmu kehidupan sebagai yang utama,
sedangkan pada saat yang sama kita harus menyadari bibit dan bakat yang
merupakan fitrah dari Tuhan. Keduanya musti berjalan paralel beriringan tanpa
saling meninggalkan.
Mudah? Jelas tidak! Karena
kita harus rela tersita pikiran, waktu, tenaga untuk terus mencari cara dan
siasat di tengah arus yang tidak mengarah kesana. Namun demikian, se-mbulet
apapun kondisi yang ada hari ini, kita masih harus bersyukur atas inisiatif
kebanyakan kita untuk berpusing memikirkan yang terbaik demi generasi
selanjutnya.
Karena itu berarti kita sedang
sadar akan perlunya pendidikan yang sejati, pendidikan yang bukan sekedar arena
training atau ajang menang-menangan gelar, sertifikat, dan predikat.
www.percik.id
BalasHapusSyafiq Rahman
Pendidikan ala Kita Sendiri