PERCIK.ID- Berapa lama waktu yang harus ditempuh oleh
sebuah pesan untuk dibaca kawan di lain kota, negara dan lintas benua?
Jawabannya tergantung kapan pertanyaan itu dilontarkan. Jika ditanyakan seribu
tahun yang lalu, bisa jadi berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan pesan itu
takkan dibaca sama sekali. Berjalan pelan melampaui usia pengirimnya. Dunia
kemudian berputar seperti sedia kala, manusia yang senantiasa gelisah tak bisa
jadi jadi dirinya yang dahulu. Perubahan adalah keniscayaan. Kemudian kita tiba
di sini, ketika gerundelan di kamar
didengar oleh manusia lain nun jauh di sana. Di kota yang berbeda, di lain
negara, antar benua dalam waktu satu-dua detik saja.
Untuk melihat wajah bapak dan emak di kampung,
tunggulah tut tut tut sejenak dan wajah mereka yang semakin renta segera
terlihat di layar gawai. Segera setelahnya wajah-wajah tua itu bakal tersenyum
dan tertawa memperlihatkan gigi ompong mereka. Jarak tak bisa lagi menciptakan rindu yang ranum. Teknologi memetiknya sebelum masak.
Pertemuan secara langsung dengan obrolan hangat
menurun intensitasnya. Banyak orang menggerutu dan menyayangkan soal itu. Kadang
pun, sudah bertemu masih bersibuk-sibuk dengan gawai di tangan masing-masing.
Perkembangan teknologi komunikasi memang memproduksi perilaku-perilaku yang
baru. Mau tak mau kita musti beradaptasi agar tak pegal memanggul sakit hati
dan dikecewakan oleh ekspektasi yang kelewat jadul.
Apa yang sempat terjadi dan menjadi adat di masa
lalu, makin hari makin usang. Ia masih indah sebagai sesuatu yang nostalgik dan
romantik, tapi nampaknya tak bisa kita bawa seterusnya. Anak-anak masih suka
bermain, tapi dengan sesuatu dan cara yang sama sekali berbeda. Orangtua tak
bisa lagi memaksa mereka bersikap sebagaimana ketika mereka kanak-kanak dulu.
Penyesuain jadi keharusan.
Penyair Sitor Situmorang menulis sebuah sajak,
Mawar kupetik di pagi hari
Sekali kucium kubelai
Jadi kenangan di sunyi mati
Mawar itu betapa indahnya, ketika dulu kita
petik dan berikan kepada kekasih. Merah segar seolah gairah dan cinta masa muda
yang meluap-luap kita tuangkan pada tiap kelopaknya. Tetapi esok, ia telah
layu, mengintip matahari pagi di tepi jendela kamar kekasih. Bagaimanapun, ia
akan tetap indah, tidak lagi sebagai bunga melainkan kenangan. Saya kira
demikian juga hidup. Dulu indah, kini indah, esok akan tetap indah. Salah satu
cara untuk bisa menikmati hidup, sepertinya adalah kejelian untuk menemukan
kebaikan dan keindahan. Tanpa itu kita akan jadi penggerutu yang tak sadar di
makan usia.
Sewaktu muda, betapa terpesona saya membaca
sajak-sajak W.S. Rendra. Punya cita-cita menjadi seperti dirinya. Menulis
ratusan sajak cinta, berambut gondrong dan beristri perempuan cantik. Mimpi itu
indah, masih tetap indah sampai sekarang meski tak kesampaian.
Saya kira itu, ya.
www.percik.id
BalasHapusSyafiq Rahman
Saya Kira itu, Ya