PERCIK.ID- Seorang perempuan marah
besar ketika matahari belum juga muncul sempurna. Ia memarahi suaminya
habis-habisan karena tidak memberinya hadiah ulang tahun ke-28. Alih-alih
memberi hadiah, memberi ucapan selamat ulang tahun di jam 00.01 pun tidak. Ini
yang membuat perempuan itu marah besar ketika bangun tidur. Bangun tanpa ada
sesuatupun yang berbeda dari hari biasanya. Tak ada yang spesial dari bangun
paginya. Maka ia merasa berhak marah besar pagi ini.
Di tengah kemarahannya
yang menyala-nyala, perempuan itu berujar tentang pernikahan mereka.
“Penikahan macam apa
ini. Bahkan selama kita satu rumah, kau tak pernah sekalipun membuatku bahagia”
Ujarnya dengan wajah merah dan menuding hidung sang suami yang memilih diam
saja.
Padahal belum ada 2
minggu yang lalu, suaminya membelikan liontin emas bertulis namanya. Dan ketika
perempuan itu menerima, ia berujar dengan lirih namun jelas, “Terima Kasih ya,
aku bahagia sekali”.
Momentum lupa atas apa
yang terjadi semacam hal di atas sering sekali terjadi pada seseorang. Amnesia
atas bahagia yang sudah diterima. Ini macam apa yang dikatakan pepatah sebagai
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”
Ini tidak hanya terjadi
pada rumah tangga. Pada lingkup lebih luas, hal semacam ini juga sering sekali
terjadi. Hubungan pertemanan, sepasang kekasih, relasi bisnis, pendidikan,
bahkan juga hubungan orangtua-anak.
Dorongan batin dalam
keadaan yang terjadi membuat ungkapan semacam itu punya kans keluar begitu saja.
Tapi sesungguh-sungguhnya, itu dorongan semu untuk mendukung perasaan tidak
suka yang sedang menghinggapinya. Bahkan pasca kebaikan-kebaikan yang baru saja
diberikan pun ungkapan semacam itu masih punya kesempatan untuk dilontarkan
seseorang.
Meski sering terjadi, amnesia
bahagia ini tentu bukan berarti harus dimaklumi. Karena jelas itu tidak wajar.
Amnesia bahagia semacam ini jelas menjengkelkan sekali. Betapa sepasang kekasih
yang lama menjalin hubungan dengan bahagia, tiba-tiba saja putus dan menjadi bermusuhan
hanya karena miskomunikasi. Kebahagiaan yang selama ini saling diberikan ludes
tanpa sisa hanya karena satu insiden yang sesungguh-sungguhnya lucu untuk
menjadi alasan bertengkar, apalagi sebagai alasan berpisah. Kurang lebih pada
hubungan-hubungan di luar sepasang kekasih pun juga sama.
Tentu kemudian kita
harus kembali kepada diri kita sendiri dan menyiapkan hal semacam itu datang
secara tiba-tiba. Kita toh tidak punya jaminan bisa mengelak pada hal-hal semacam
ini, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Kita bisa belajar untuk bisa
menekan diri agar tidak berlaku demikian, dan tentu juga menyiapkan mental
sekuat baja untuk berada di posisi sebagai korban.
Yang menentukan apa yang
akan terjadi selanjutnya tentu dorongan batin yang datang beserta tingkat sensifitas
orang yang terlibat. Kalau sama-sama menghadapi dengan kepala panas, yang
terjadi berikutnya tentu bisa ditebak akan seperti apa. Sebab persembahan yang
tidak dianggap bagi sebagian orang merupakan bentuk ketidakpedulian, bahkan
bisa jadi diterima sebagai bentuk penghinaan.
Maka, karena tidak layak
dimaklumi dan diwajarkan, amnesia bahagia ini tentu juga perlu diminimalisir.
Kalau bisa malah dihilangkan. Sifat ini bukan watak melekat yang tidak bisa diowahi.
Kalau tidak ditindaklanjuti, yang kasihan adalah korbannya. Betapa apa yang
dilakukan menjadi sama sekali tidak berarti karena lupanya orang yang diberi
atas rasa bahagia yang sudah diterima.
Sekali lagi, apapun
relasinya, amnesia atas bahagia sungguhlah menyakitkan. Ini lebih dari PHP an
sich. Sebab bahagia sudah benar-benar diterima, tapi kemudian lupa begitu
saja. Kemarin kerjamu diapresiasi luar biasa atas kinerja yang sudah dilakukan.
Beberapa hari kemudian kamu dianggap tidak pernah becus bekerja. Hari ini kamu
dianggap pintar karena mengerjakan soal dari guru dengan baik dan sempurna,
esok lusa kamu mungkin saja dianggap bodoh sekali karena salah menjawab
pertanyaan. Tentu kejadian semacam ini sungguh menyedihkan bukan?
Barangkali gambaran
mudahnya, kamu bak telah menyatakan cinta kepada perempuan idamanmu. Dan alhamdulillahnya,
perasaan cinta itu diterima dengan baik.
Tak ada penolakan. Raut wajahnya pun tampak sungguh bahagia. Bahagia
yang natural, tidak sama sekali dibuat-buat. Tapi esok harinya, dia lupa sudah
menerima cintamu dan mengatakan “kamu siapa” ketika kamu memanggilnya “sayang”.
Kita amnesia, dia bahagia
BalasHapusmenarik, salam pagi
BalasHapus