PERCIK.ID- Di musim Corona seperti ini, rasa miris yang terbit di
hati sa silih berganti. Dimulai dari sepinya Ka'bah dari aktivitas ibadah, dan
ditutup dengan proses belajar mengajar berbasis daring, belajar-bekerja dari
rumah.
Alih-alih mengeluarkan putusan yang tidak semua orang
setuju, putusan yang disandarkan pada pencegahan-penekanan terhadap meluasnya
virus yang sedang kondang itu, bersalaman, berkumpul dan bergaul, sa ada di
nominasi kelompok yang kurang setuju. Tapi ya okelah, demi kebaikan bersama.
Di pesantren tempat sa belajar, acara rutin majelis
dzikir yang menghimpun ribuan manusia bahkan dikabarkan gagal. Keputusan ini
final. Resmi. Resmi gagal. Dan kampus tempat kami menimba ilmu pun menyusul
nama kampus lain yang melakukan kegiatan belajar mengajar berbasis online.
Hati ini, hari pertama kami merasakan LDR dengan kursi
mahasiswa, gedung putih kami, AC kelas
yang dinginnya menusuk tiap pori-pori, wajah presentator yang geram, teman
diskusi yang gahar, dan semua kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar
mengajar. Hari ini, kami resmi berjauhan dengan mereka semua.
Bukan. Bukan ini yang membuat sa sedih. Karena LDR yang
kami jalani, tak kalah roman dari yang orang pacaran ketika LDR (an). Kami
masih bisa saling bertukar pikiran lewat media yang sudah disediakan. Kami
masih bisa saling bantai sebagai bentuk upaya menggugurkan argumentasi
pemakalah atau argumen pihak yang mendukungnya.
Sa kurang tahu, sistem kuliah online yang dipakai kampus
lain selama lockdown ini berjalan, sistem absensi, cara menjalankan
diskusi dan lain sebagainya, sa kurang tahu. Yang jelas, absensi kami hari ini
ditilik dari mengisi nomor urut yang sudah disediakan. Mengetahui hal ini,
teman di sebelah sa nyeletuk begini,
"Ya, pokoknya nama saya sudah ada di nomor urut itu,
selesai. Soal diskusinya bagaimana, ya terserah. Bukan beasiswa pemerintah
juga. Jadi ndak masalah, nanti sa dapatnya apa."
Mendadak hati sa ngilu mendengarnya. Dia lupa bagaimana
orangtuanya membanting tulang, menguras keringat, merapalkan banyak do’a agar
ekonomi keluarga berjalan normal, dan dia tetap bisa sekolah. Mereguk materi
sebanyak-banyaknya. Menghimpun ilmu yang tak terbilang jumlahnya.
Dia lupa, bahwa ia bisa duduk kuliah itu juga beasiswa.
Beasiswa orangtua. Upaya orangtua yang ingin otak anaknya terisi dan ngga
plonga plongo menghadapi kerasnya dunia.
Hari ini, sa menjelma manusia yang paling lemah imannya
berdasarkan hadis yang disabdakan sang Musthofa.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Jika tak bisa bertindak, sampaikan pendapat, dan opsi
akhir, jika kamu tak mampu melakukan keduanya, ingkari perbuatan itu, simpan di
hatimu sendiri, dan berdo’a.
Sa lemah karena tak mampu menegur kawan sa. Mengubah sesuatu
yang Munkar, setidaknya menurut perspektif sa. Sa terlalu larut menikmati
kesedihan sa. Bayangan ayah berpayah-payah menyekolahkan sa berkelebatan di
kepala.
Alloh know best!
www.percik.id
BalasHapusLifa Ainur Rohmah
Beasiswa Orangtua