PERCIK.ID- Untuk kawan-kawan yang kita telah belajar fikih
bareng-bareng, membaca himbauan dari Ulama al-Azhar agar kita solat di rumah
saja, dan untuk sementara waktu tidak pergi Jum’atan, tentu tidak akan dibantah
dengan misalkan, "Mati urip kersane Gusti Alloh", atau "Ini
adalah konspirasi wahyudi supaya umat Islam meninggalkan jama’ah dan syi'ar
Islam".
Dalam fikih kita belajar dasar hukum, bahwa
sesuatu yang haram, bisa berubah menjadi halal dalam situasi dan kondisi
tertentu. Status bangkai bisa berubah menjadi halal untuk dikonsumsi, manakala
hanya bangkai itu yang bisa di makan untuk menyambung hidup.
Sebaliknya, sesuatu yang wajib bisa menjadi tidak
wajib dalam situasi dan kondisi tertentu. Seperti solat Jum'at dalam situasi
dan kondisi terkepung pandemi Corona, sebagaimana himbauan ulama al-Azhar.
Nalar fikih selalu berfokus pada kemaslahatan dan
kemudaratan. Kalau bisa, sesuatu itu musti maslahat. Kalau tidak ya, asal
jangan mudarat. Jika solat Jum'at bisa meningkatkan potensi semakin banyaknya korban
terjangkit -dan meninggal dunia- maka, kewajiban menjaga nyawa menjadi urgensi
di atas kewajiban solat Jum'at. Artinya, jika ada orang yang memutuskan untuk
tidak berangkat solat Jum'at dengan pertimbangan seperti itu, tidak bisa
dihukumi meninggalkan kewajiban dan tidak perlu jadi bahan rasan-rasan.
Pandemi Corona ini bukan sesuatu yang bisa
diremehkan, yang menkes kita bilang -tanpa penelitian dan riset- "bisa
sembuh sendiri". Awalnya cuma dua orang yang positif terinfeksi -seiring
ketidaksigapan pemerintah yang bisa kita endus dari pernyataan-pernyataan
pemangku kebijakan di media sosial, yang justru cenderung meremehkan- kini sudah
ratusan orang positif terinfeksi. Tentu, ini
bukan waktunya salah menyalahkan atau tuding-menuding. Tetapi, kritik
sebagai upaya perbaikan penanganan negara terhadap rakyat, dalam situasi
genting musti disampaikan.
Kita juga musti mawas diri dan mencoba lebih disiplin. Himbauan untuk tetap
di rumah dan tidak mendatangi tempat ramai atau membuat acara keramaian, untuk
sementara waktu seyogianya kita patuhi. Menjaga keselamatan nyawa diri
sendiri, keluarga, dan tetangga adalah ibadah yang tinggi nilainya di sisiNya.
Sebagian orang berkomentar, "Corona itu virus
kecil, tapi kenapa dianggap besar sekali. Apa kita lupa bahwa Alloh itu
Mahaagung dan Mahasegalanya? Kok malah dianggap kecil? Astaghfirulloh!" Komentar seperti itu, lahiriahnya seperti sikap
percaya diri dan tak kenal takut, karena merasa Alloh bersamanya dan akan
menjaganya. Tetapi sejatinya adalah
sikap sembrono dan gedhe rumongso,
Kalaupun Anda tidak takut dan menyepelekan Corona,
tidakkah Anda takut bahwa Anda sedang takabbur, dan merasa dekat dengan
Alloh, sehingga yakin, bahwa Alloh pasti akan menyelamatkan Anda dari pandemi
ini? Mati dalam kondisi seperti itu tentu bukan syahid namanya.
Kanjeng Nabi Muhammad sendiri memerintahkan kita
untuk bersembunyi di rumah kita masing-masing, tatkala kelak Ya'juj Ma'juj
menyerbu. Mengenai dawuh itu, apakah Anda akan berkomentar, "Ah, Nabi
cemen! Kayak nggak punya Alloh saja". Jika demikian, selamat! Kewarasan
Anda mati mendahului rongsokan jasad yang muspro itu.
Pagebluk bukan bahan guyonan yang tepat. Sudah ada
korban jiwa, dan kita tentu tak ingin ikut menambah pilu hati keluarga korban
yang ditinggalkan orang terkasih mereka dengan menjadikan pagebluk ini sebagai
bahan tertawaan dan candaan di beranda akun sosial media kita.
www.percik.id
BalasHapusSyafiq Rahman
Bukannya Aku Takut Corona