Tapi
memilih tidak mempercayai Tuhan,
PERCIK.ID- Dalam
tataran bidang keilmuan yang berkaitan dengan kejiwaan –yang kemudian disebut
ilmu psikologi– kita tahu bahwa manusia adalah center dari segala
pengalaman. Sudut ragawi dan spiritual menempatkan manusia sebagai ladang
penelitian ilmuan. Sigmund Freud menyatakan manusia didirikan berdasarkan tiga
elemen. 1. Id atau aspek biologis, 2. Ego, dan 3. Super ego.
Islam
merumuskan dua aspek yang membangun manusia. Jasmani dan ruhani. Yang kelak
diketahui, aspek jasmani tidak pernah bisa berdiri sendiri. Untuk menunjang
kehidupannya, manusia butuh genjotan ruhani.
Kian ke
sini, mereka kian bergantung pada aspek ruhani, atau biasa juga disebut
kekuatan gaib. Entah apa atau siapa kekuatan gaib yang dimaksud. Manusia
beragama kerap menyebutnya Tuhan. Tidak diketahui pula sejak kapan manusia mulai merumuskan Tuhan dan agama.
Karen Amstrong dalam Sejarah Tuhan-nya menulis:
“Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan
yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. DIA
tidak terwakili oleh gambaran apapun, tidak memiliki kuil atau pendeta yang
mengabdi kepadanya. DIA terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tidak memadai.
Perlahan-lahan DIA memudar dari kesadaran umatnya. DIA telah menjadi begitu
jauh, sehingga mereka memutuskan bahwa mereka tidak lagi menginginkannya. Pada
akhirnya, DIA dikatakan menghilang”.
Tuhan
ataupun agama, adalah dua hal yang sampai saat ini sulit didefinisikan.
Beberapa pakar menawarkan pengertian melalui pendekatan bahasa. Menurut
perspektif al-Ghozali, Tuhan berasal dari bahasa arab, berupa ilah.
Secara aspek, ilah masih bersifat nakirah (umum), alias belum
spesifik, Tuhan siapa. Maka ditambahlah “alif-lam” (al) untuk memberikan makna ma’rifat
(khusus). Dari ongkar-angkir bahasa ini, Tuhan dalam Islam, disebut
Alloh. Senada dengan itu, Karen Amstrong dalam “Muhammad Prouphet For Our
Time” menuliskan:
“Salah satu bentuk suksesi kepemimpinan Muhammad, adalah ia
berhasil menebalkan bunyi “l” dari kata “al-Lloh” sehingga membedakan konsep
Islam dengan konsep penyembahan berhala tentang Tuhan. Penggunaan ini lebih
tepat daripada “Allah” yang lebih kerap dipakai.”
Sementara
untuk pengertian agama, terlalu banyak rumusan dan hampir semua rumusannya tak
menjawab persoalan. Tak imbang dengan definisi yang diharapkan. Tak bisa
diterima oleh semua orang. Hal ini diakui oleh H. A. Mukti Ali –salah seorang
tokoh ahli Ilmu Perbandingan Agama– yang
menyatakan, bahwa agama adalah satu kata yang paling sulit diberikan pengertian
atau definisi. Karena ia menyangkut tiga dimensi, yakni, perkara batin dan
subyektif, semangat dan emosional individualis, juga digantungkan pada tujuan
agama penganutnya. Agama selalu berkelindan dengan suatu mutlak dan gaib, yang
sering disebut Tuhan.
Tuhan
sendiri, adalah “figur” kabur yang mustahil dapat dibuktikan dengan cara
apapun. Untuk mencapaiNYA, manusia butuh porsi keimanan yang cukup. Porsi ini
bisa ditempuh dengan ber-agama.
Tuhan
dan agama adalah fitrah bagi manusia. Ia membutuhkan keduanya sebagai media
tempatnya berkomunikasi. Untuk memohon bantuan dan pertolongan pada Tuhan atau
yang disebut sebagai kekuatan gaib dan tak jelas di atas. Kendati-pun tidak
diketahui siapa Tuhan yang sebenarnya, manusia tetap mempercayainya. Karena
hanya dari sana, manusia merasakan adanya kebutuhan terhadap bantuan kekuatan
gaib tersebut. Desakan dari sisi internal manusia inilah yang kemudian disebut
awal dari rasa agama.
Gejala
agama dan kehidupan beragama, Tuhan dan bertuhan dalam kehidupan manusia terus
mengalami fase pasang-surutnya. Mulanya, manusia mempercayai adanya satu Tuhan
tertinggi –dengan kata lain, ajaran monoteisme hadir sejak lama, sebelum
dipopulerkan oleh Ibrohim dan putranya, Isma’il–, yang tak tersentuh dan tak
terjangkau manusia hingga mereka memutuskan untuk menyembah ruh-ruh yang lebih
rendah, menciptakan media untuk melampiaskan hasrat dan kerinduannya atas Tuhan
tertinggi yang tak bisa mereka raih.
Setelah
dewa-dewa itu tercipta atau diciptakan, ajaran-ajaran dalam agama semakin
berwarna. Sekitar tahun 320, gairah teologis merasuki banyak gereja di Mesir, Syiria,
dan kota kecil hampir di seluruh Asia. Muncullah konsep Trinitas yang kelak
diketahui ia dinisbatkan pada Tuhan orang kristen, di waktu yang sama, konsep
Trinitas ini mulai mewarnai ragam agama.
Disusul
tahun 610, ajaran monoteisme diperbarui. Ajaran menyembah satu Tuhan
dimunculkan kembali. Terlebih, ketika seorang laki-laki bernama Muhammad
menerima wahyu, dan status Nabi-Rosulnya dilegitimasi. Selama berabad-abad,
ajaran ini mendapatkan masa jayanya.
Masa
kejatuhan Islam terjadi saat jatuhnya kekhalifahan Abbasiyah, yang bebarengan
dengan kemandekan ilmu pengetahuan. Dalam waktu yang sama, sistem dan budaya
modern tumbuh dan berkembang pesat di Eropa Utara Barat. Memukul mundur
kebudayaan Islam. Selain itu, budaya modern juga merampas ajaran hampir semua
agama dan menukarnya dengan budaya materialisme.
Budaya
ini benar-benar mendapatkan tempatnya ketika zaman akal kian merajalela. Ketika
akal manusia seolah-olah menjadi dewa baru bagi manusia. Tuhan lama
ditinggalkan. Kepercayaan manusia atas agama ditanggalkan.
Lebih-lebih
di abad ke sembilan belas, kemajuan sains dan teknologi memotori manusia atas
teori pembebasan dari Tuhan. Abad yang gencar menyusun tafsiran filosofis tanpa
menyisakan satu tempat-pun untuk Tuhan. Dan atheisme benar-benar diagendakan.
Bahkan ada yang terang-terangan menyatakan “Kalaupun Tuhan belum mati, adalah
tugas rasio manusia untuk membunuhnya.”
Namun
agaknya, abad rasio ini tak mampu bertahan lama, di abad ke dua puluh,
dikabarkan bahwa bangsa Eropa yang sebelumnya memuja-muja kecanggihan teknologi
dan kemajuan sains memasuki era alienasi (keterasingan). Aspek lahiriah dan
bathiniah yang coba mereka pisahkan berdampak pada kehampaan dan kelesuan
mereka dalam menjalani kehidupan. Karenanya, belakangan, pemikir Barat mencoba
mengawinkan kembali aspek Iptek dan aspek agama, yang kelak dikenal sebagai
teori pembebasan. Teori yang percaya akan adanya Tuhan, tempat mereka menemukan
asupan spiritual, tapi tetap tak mau tergabung dengan agama manapun. Dengan
slogan khas “Spiritual yes, religion no”.
Dari
fakta ini, jika kita tilik lebih dalam, sains dan filsafat, akal dan rasio
mereka tak mampu membunuh atau mengesampingkan Tuhan sebagaimana diwacanakan di
abad sembilan belas. Aspek ruhaniah dan lahiriyah tidak bisa dipisahkan dengan
alasan apapun. Dan manusia tidak bisa menolak kenyataan bahwa dia lemah dan
butuh pada Tuhan, Tanpa peduli dari aliran manapun, atau agama apapun. Ia butuh
pada harapan yang ia titipkan pada kekuatan gaib bernama Tuhan. Dan sikap tak
mempercayai keberadadaanNYA, adalah sebuah kemunafikan yang tak terbantahkan.
"JUARA 1 LOMBA MENULIS ESEI PERCIK.ID"
www.percik.id
BalasHapusLifa Ainur Rohmah
“Figur” Kabur yang Banyak Dibicarakan
"Tulisan ini merupakan juara 1 lomba menulis esei yang diselenggarakan oleh percik.id"