PERCIK.ID- Hak Asasi Manusia atau yang sering disingkat dengan HAM -pasca
kita merdeka lebih-lebih setelah reformasi- isu mengenai HAM selalu punya porsi
penting. Bila tidak keberatan disebut sensitif. Ruang gerak penguasa menyangkut
kebebasan masyarakat makin dibatasi dengan konstitusi yang mengatur HAM di dalamnya.
Bagi generasi lama, tentu sangat mahfum bagaimana
terbatasnya ruang gerak pubik kala itu. Rezim begitu berkuasa dengan apa saja
aparatur yang dimilikinya. Tapi kemudian roda kehidupan bergulir tanpa bisa
dibendung. Kata orang jawa, "wis wayahe". Tibalah waktu di
mana penguasa tak lagi sangat berkuasa. Kini masyakarat menghirup udara
kebebasan lebih lega. Atau malah kadang terkesan terlalu lapang.
Terlalu atau tidak, setiap opini akan punya sudut pandang
masing-masing. Satu pakar belum tentu punya pendapat yang sama dengan pakar
yang lain. Terlebih netizen?
Dulu ketika peralihan tahun dari angka 1999 menjadi 2000,
sorak sorai masyarakat begitu renyah menyambut era baru yang mereka sebut
dengan era milenial. Tidak hanya di sini, tapi euforia ini datang terlebih dari
negara yang lebih dulu siap dengan dunia online-nya. Warna kilau silver
dipercaya menjadi lambang yang bisa mewakili ke-modern-an milenial kala itu. Di
mana-mana ada warna silver mengkilat. Termasuk baju, jaket, celana juga tidak
mau ikut ketinggalan jaman, semua ikut silver.
Tapi datangnya milenial tidak selalu membawa dampak yang
diharapkan. Kalau masih ada yang ingat, sistem komputer dan internet waktu itu
tidak bisa dengan mulus begitu saja dengan peralihan yang ada. Ternyata
"mereka" gagap juga ketika harus mengenali angka 99 yang harus
kembali menjadi 00.
Setiap perubahan memang membawa konsekuensi. Tidak perlu
melihat apakah kita siap atau tidak. Era milenial dengan segala kemajuannya
telah membawa banyak perubahan. Salah satunya, dulu ketika masyarakat butuh
peran "aktivis" agar suaranya lebih didengar oleh penguasa, kini
mereka punya lebih banyak massa. Tidak perlu harus punya jas almamater kampus.
Tak perlu harus turun ke jalan. Tapi cukup dengan bisa online, netizen bisa
sangat bertenaga dengan isu viralnya.
Positif-negatifnya tentu ada. Mestinya tidak perlu
diperdebatkan. Karena semacam pisau, ia bisa punya peran berbeda ketika di
tangan seorang koki dibanding seorang begal. Seorang koki yang punya niatan
untuk menyenangkan orang lain dengan makanannya tentu akan memberi faedah. Pisaunya
pun menjadi berkah.
Jauh sebelum era yang serba online ini, sebetulnya
masyarakat sudah sangat dimanja dengan gerak bebas mereka, aspirasi mereka.
Alih-alih bebas, terkadang kebebasan ini terkadang malah semacam kebablasan.
Lagi-lagi, isu HAM bisa menjadi "tameng" yang efektif bagi mereka
yang sebetulnya tidak ingin memberi kontribusi dan faedah yang lebih luas,
menyeluruh bagi kepentingan setiap elemen bangsa.
Oknum memang selalu ada dalam setiap jaman. Mustahil
membersihkan dunia ini seluruhnya menjadi putih. Maka perjuangan dalam
menegakkan kebaikan dan kebenaran menjadi tidak tepat sasaran bila dimulai dari
bagaimana orang lain. Tapi semua ini adalah tentang bagaimana kah
"saya"? Bukan "kamu".
Jangan salah, negara ini sudah melindungi setiap manusia
dengan hak asasinya. Konstitusi kita sudah mengaturnya. Masyarakat ingin
berkumpul? Tenang, UUD'45 kita sudah punya payung hukumnya. Masyarakat ingin
bersuara? Tenang, juga sudah diatur. Atau ingin jadi Presiden? Anggota dewan?
Lagi-lagi tenang, HAM Anda pun dijaga untuk bisa ikutan berpolitik. Dan HAM
lain-lain pula ada di sana.
Hanya saja jika mau merenunginya, kebebasan tak pernah
akan ada bila tanpa adanya sebuah batasan. Seperti ketika kita mengenali
setitik warna hitam di selembar kertas yang putih. Maka HAM bukanlah tanpa
sebuah batasan. Lebih tepatnya, kebebasan yang bertanggung jawab.
Maka di sanalah kita akan menemukan sosok manusia.
Sebagai makhluk yang bebas, tapi "terikat" dalam sebuah tanggung
jawab. Tapi pertanyaannya, siapa yang suka terikat? Umumnya, semakin dilarang
maka dorongan untuk melanggar juga makin kuat.
Karena umum, maka awam. Maka akan berbeda ketika
pertanyaan itu dihadapkan kepada seorang ahli ilmu. Justru dia akan
"menyerahkan" dirinya dengan penuh semangat. Tidak memandang sebagai
batasan yang membelenggu, melainkan batasan yang ia butuhkan guna memenuhi
fitrah manusia yang serba terbatas.
Maka sebetunya apakah itu yang dinamakan HAM?
Barangkali jika kita memulai dari kesadaran bahwa tidak
ada satupun manusia (dan Jin) yang diciptakan untuk menyembahKU (Tuhan), maka
sebetulnya kontruksi tentang HAM akan lebih jelas terlihat.
Karena sesungguhnya hak dasar manusia adalah beribadah.
Tidak perlu sampai bicara batasan, maka bila setiap manusia mau memerjuangkan
hak asasinya untuk beribadah, rasa-rasanya dunia ini akan aman sentosa.
Betul tidak? Bukankah ciri muslim itu orang lain dan
lingkungannya akan selamat dari lisan dan perbuatannya. Dan apapun itu, itu
bernilai ibadah. HAM adalah menjaga orang lain selamat, lingkungannya selamat.
Semua selamat dari perbuatan dan lisannya. Harusnya itulah HAM yang
diperjuangkan setiap manusia.
Apakah Anda seorang netizen, pemerintahan, politisi,
usahawan, sampai warga negara yang butuh perlindungan dari Corona? Jangan
lupakan HAM Anda!
makasih sharingnya
BalasHapus