PERCIK.ID- Sore kemarin, saya berbincang panjang soal
pekerjaan dengan salah satu kawan melalui telepon. Jika dulu pekerjaan sebisa
mungkin diselesaikan dengan bertatap muka, kini Work from Home yang
dicanangkan pemerintah pusat dan daerah, -terlebih juga telah di-Dekrit-kan
‘Ibu Negara’ dari rumah- mungkin akan membuat kami, para pelaku ekonomi
menyadari terobosan cara baru dalam bekerja. Sehingga boleh jadi, selepas masa
pagebluk ini, cara kita menjalankan kegiatan harian, baik itu aktivitas
ekonomi, pendidikan, sosial dan apapun, akan berubah.
Setelah
selesai mendiskusikan urusan pekerjaan, kami saling berbagi cerita. Biasa lah,
sesi curhat-curhatan yang seringkali tidak penting, tapi tetap saja selalu ada.
Kawan saya berbagi informasi tentang satu bisnisnya yang hari ini lagi rame
tapi sayangnya menguras hati dan mental pikiran. Bisnis itu menyangkut jual
beli Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis, seperti masker misalnya.
Saya
paham dari berita bahwa terjadi praktek penimbunan disana-sini. Namun yang
cukup mengagetkan dari cerita kawan saya yang mengalami secara nyata di
lapangan, adalah fakta bahwa rupanya praktek makelaran perdagangan APD ini
sangatlah panjang. Mata rantainya sudah mengular sehingga membuat harga barang
menjadi sangat bombastis. Lima belas kali lipat harga normal! Iya, lima belas.
Lima belas! Gyendeng.
Masa
krisis adalah masa kesempatan, begitu kata sebagian orang sukses dalam
seminar-seminar. Entah permainan dagang APD yang seperti inikah pengejawantahan
arti kesempatan itu? Jika ya, maka masuk akal saja kita dapati dalam himpitan
krisis ini, barang-barang ditahan agar permintaan semakin meledak, lalu harga-harga
dilambungkan, bahkan terus dikerek-kerek demi mendapatkan yang paling
menguntungkan.
Bahwa
pelaku bisnis sering harus berstrategi, detail menentukan langkah, mengunci
lawan untuk meraih keuntungan diatas yang lain, itu kadang masih ‘normalnya’
persaingan bisnis. Berdagang ya untuk mencari untung, begitu kurang lebih
kaidah normal dalam berbisnis. Meskipun untuk
sebagian pebisnis golongan putih, praktek demikian pun sudah dianggap
kotor, hina, dan dosa.
Tapi,
kali ini, dikala kasak-kusuk dan segala strategi mencari keuntungan itu diperoleh
dengan mengorbankan resiko hidup mati para tenaga medis yang amat sangat
membutuhkan misalnya, masihkah kita bisa berkata ini normal? Masihkah kita
berani bilang, ‘Ini bisnis, Bung!’? Atau, masihkah kematian demi kematian orang
lain, akan juga dijawab ‘Daripada kita yang mati?’ sedang sebenarnya tak ada kemungkinan
mati baginya kecuali hanya mati hatinya sambil terus menerus menambah-nambah
keuntungan harta.
Barangkali,
inilah bentuk lain dari individualisme asu bajingan. Para individualis ini mungkin
lupa, dengan menumpuk sebanyak-banyaknya harta, dia berpikir akan selamat dan
bahagia. Sedangkan pada saat yang sama dia bersikap persetan dengan hidup mati
orang. Seperti halnya orang yang berdo’a dan berusaha sekuat tenaga menjaga
kesehatan dirinya sendiri sedangkan orang sekampungnya terinfeksi virus corona.
Adakah mungkin selamanya dia selamat dari virus itu? Adakah di dunia ini,
mekanisme selamat sendiri di kala yang lain sedang cilaka?
Perbincangan
kawan saya berakhir dengan permakluman yang terdengar begitu mulia. Tak lupa
dia akhiri dengan do’a dan harap untuk para individualis kapitalis itu agar
selamat dari do’a-do’a jelek orang yang dirugikan atas tindakan busuknya.
“Semoga selamatlah, Nggar dari siksa neraka”, begitu kurang lebih lirih teman
saya.
Sayangnya,
para individualis kapitalis itu mungkin sudah lebih dulu lupa dengan apa itu
surga neraka yang terlalu abstrak dan terlampau jauh disana. Yang ada, wujud,
dan amatlah nyata, tak lain tak bukan adalah tumpukan uang, keuntungan, dan
harta benda.
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Individualis Asu Bajingan