PERCIK.ID- Pada suatu pagi yang
mulai gupuh di bilangan Jakarta Selatan, saya dan seorang kawan memilih
minggir ke pojok warung kopi. Hari masih terlalu dini untuk ikut bergelut dalam
‘pertarungan’ yang katanya sekedar demi sesuap nasi. Karena toh, kami meyakini,
tak perlu lah ikut-ikutan seperti itu untuk bisa menikmati limpahan rezekiNYA.
Minimal terbukti, kami masih bisa menikmati hangat kopi ditemani gorengan yang
masih kemebul.
Kawan saya ini
penikmat gorengan sejati. Dia giat sekali nyebul-nyebul gorengan agar
lekas dingin, meskipun sesekali langsung saja dia gigit sambil kepanasan karena
tak sabar lidahnya menikmati asin gurihnya gorengan. Sembari menjalankan ritual
itu, dia bercerita tentang metode barunya dalam bekerja. Dia adalah engineer
handal. Asli, saya jamin itu. Jika sampean berpikir kebanyakan engineer pandai
membaca data atau grafik untuk menyimpulkan sesuatu dengan teori-teori canggih,
teman saya bukanlah tipikal seperti itu. Dia ada pada tingkatan aplikatif pada
kondisi real di lapangan.
Engineer hari ini mungkin tau segala bentuk teori dan
perhitungan tentang kompresi, tapi bahkan wujud kompresor saja tidak pernah
melihat langsung. Sedangkan, kawan ngopi saya ini, jangankan sekedar tau
wujudnya, dia sudah sampai tataran merekayasa performa kompresor, misalnya. Merekayasa,
menjadikan apa yang tak mungkin secara teknis menjadi bisa. Ini kan engineer banget,
to?
Setidaknya itu yang
saya tangkap dari ceritanya, bahwa berawal dari kondisi tersebut keresahan dia
tumbuh. Singkatnya, dia khawatir kemampuannya secara teknis untuk mengolah
mesin-mesin tidak terwadahi di tempatnya bekerja saat ini. Saya bisa
membayangkan, sangat tidak membahagiakan memang, untuk tahu bahwa potensi kita
tidak teroptimalkan dan tidak memberi manfaat untuk diri dan sekitar.
Oleh karena dia tau
potensinya, juga tau keadaan dan kebutuhan di lapangan, ingin rasanya dia
melompat untuk mengembangkan diri. Bahkan, rencana keluar dari perusahaan sudah
dia canangkan sejak tiga tahunan lalu. Tapi oleh karena beberapa pertimbangan
lain, belum juga tereksekusi.
Dalam hal bekerja,
saya juga berpikir kurang lebih sama. Tempat bekerja semestinya seperti pot tanaman.
Tak hanya subur, dia harus cocok dengan bibit si tanaman. Karena toh, bibit
unggul pun harus tumbuh di habitat yang tepat, kan? Mungkin ini yang harus
diingat kembali oleh saya, juga teman saya itu. Tapi rasanya, dia sudah lebih
dari paham perihal teori ini, sehingga timbul kegundahan hati dan pikirannya
untuk mencari pot baru tempatnya bisa tumbuh mekar lebih subur.
Tentang cara barunya menghadapi tempat kerja yang sudah tak bisa menampung
dirinya itu, dia katakan kalau akan menjalani saja sesuai irama yang ada. Melu ilining banyu. Karena,
mau diapa-apakan lagi sudah tak bisa. Ingin keluar, ada pertimbangan lain yang
tak bisa langsung main terjang saja. Sedang jika bertahan, gelisah hati dan
pikiran karena potensi tak berkembang. Akhirnya, jalani sajalah hidup ini.
Begitu katanya.
Mungkin, ini terdengar sebuah pernyataan kekalahan. Tapi, justru pada
capaian kepasrahan demikian, bukankah semestinya dia harus bahagia? Sebab
dengan itu, berarti dia telah menyerahkan segala kebuntuan pada Pihak Yang
Pasti Memberi Jalan Keluar. Aman dong?
Jadi, ya tinggal
tunggu saja.
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Kompetensi Pasrah