PERCIK.ID- Alkisah seorang jama'ah matur
ke Kyai, "Kyai, njenengan niku
kan sering ngimami tengpundi-pundi. Njenengan mpun sepuh, mbok tumbas mobil,
ben echo lek bade tindaan, ben sami kale Kyai "A"."
Kyai tersebut tersenyum, dan
berkata.
"Aku asline isok ae
tuku mobil, hambok sungkemanku yo padakno mbek Kyai kae, lah kowe lek ngundang
aku, nyungkemane ora onok sprapate nyungkemi Kyai kae, kapan aku tuku
mobile?"
***
Entah kenapa, kekaguman saya
pada kyai yang ada di kampung masih lebih besar dibanding dengan da'i-da'i di
youtube, atau ustadz-ustadz dengan S berjubel dan analisis keilmuan “subhanalloh”
yang gemar mengisi seminar dan pengajian yang tentunya ada imbalan yang
"wah". Tentu sa menghormati mereka karena jelas dalam kitab ta'lim
yang pernah sa pelajari, anjuran bagi para pencari-pencari ilmu untuk
menghormati ilmu dan orang yang memiliki ilmu, hingga kitab yang berisi ilmu
tersebut. Sampai-sampai mushonif kitab ta'lim menuliskan hormat itu lebih baik
dari tho'at.
Di desa saya -entah sekarang-
ada sebuah TPQ dan Diniyah di sebelah masjid, didirikan atas urunan warga dan
dermawan desa, tanpa menarik iuran SPP ke wali santri. Para pengajarnya adalah
para warga yang pernah nyantri di berbagai pesantren di Jawa Timur. Ada yang
dari Langitan, Denanyar, Peterongan dan Mambaus Sholihin, Gresik. Setahu sa,
bisyaroh para pengajar ini didapat dari dari sumbangan para donatur, dan dana
dari Depag Kota -yang keluarnya tidak setiap bulan-, yang jumlahnya juga tentu
tak seberapa.
Jauh sebelum TPQ dan diniyah
di sebelah masjid berdiri, Pak Kyai -yang oleh anak-anak seumuran sa akrab kami
panggil Pak Moden- sudah merintis ngaji seba'da maghrib menunggu manjing waktu
isya'. Setahu sa, ngaji ini geratis. Pelajarannya macam-macam, mulai
fiqh, akhlaq, tauhid hingga ilmu alat. Jangan tanya soal kurikulum, mengingat
beliau adalah satu-satunya pengajar. Dan karena itu pula, ketika ada acara
semacam tahlilan, walimahan dan lain-lain, pak Kyai akan meliburkan ngajinya.
Selain mengaji di masjid, dan
memimpin tahlilan, Pak Kyai juga bisa berceramah. Materinya ringan-ringan saja,
soal mendekatkan diri kepada Alloh swt. Yang paling sa suka adalah ketika
beliau membeber tradisi desa, semacam ketupat dan lain-lainnya dikaitkan dengan
ajaran agama. Bahasanya sederhana, sesekali melucu, sesekali bernada ancaman
ketika beliau sudah membahas akhirot.
Setahun sekali, desa saya biasanya
mengadakan pengajian akbar mengundang penceramah dari luar, tentunya dengan
bisyaroh yang sangat berbeda dengan Pak Kyai kami. Datang dengan mobil,
pakainnya rapi, disambut dengan wah, dan terkadang isi ceramahnya ya seperti
apa yang disampaikan Pak Yai waktu ngaji seba'da maghrib yang biasa kami dengar
secara cuma-cuma. Mau ndak mau harus diakui, "Siapa yang berkata memang
akan mempengaruhi apa yang dikatakannya walaupun sama."
Sa sempat mikir, kenapa dana
yang wah itu ndak diberikan saja ke pak Yai, yang hidupnya dibuat
lari-lari mengejar waktu sholat, yang tak jarang beliau adzani sendiri, beliau
pujian sendiri, dan diimami sendiri. Beliau yang mengajari anak-anak desa ngaji
Al Qur'an, dan beberapa kitab gudulan tanpa ada tarif yang jelas. Beliau yang
ikut mele'an ketika ada orang punya hajat hingga yang kena musibah.
Tapi, Pak Kyai sudah kapundut
awal Ramadhan dua tahun yang lalu. Banyak sekali yang saya ingin tulis tentang
beliau, tentang kesederhanaan, tentang jalan dakwah, terlebih ketika puncak
perbedaan beliau dengan bapak yang berhujung keharmonisan hingga beliau
kapundut.
***
Minggu lalu sa dengar dari
bapak, Bu Nyai ingin mewaqafkan sebidang tanah di depan rumah beliau untuk
keperluan TPQ dan Diniyah. Semoga Pak Kyai di barzah diberi kelapangan atas
segala kebaikan-kebaikan yang tak akan bisa kami balas.
*Tulisan ini saya tulis di Surabaya,
pada tanggal 5 Maret 2017. Sebagai informasi tambahan, Bulan Ramadhan tahun
2016 (Pak Moden) Kyai Abd. Muchit kapundut.
Tulisan sebelumnya Tentang Kyai Muchith
www.percik.id
BalasHapusDzulfikar Nasrullah
Mengingat Kyai Muchith