PERCIK.ID- Kebutuhan manusia
terhadap sosok Tuhan sangat mendesak. Hal ini merupakan sifat dasar yang
melekat dalam diri setiap orang secara alamiah. Mengenai hal ini, ahli genetika
asal Amerika, Dean Hamer, bahkan sempat menemukan sebuah gen yang dianggap
membawa sifat spiritualisme dalam diri manusia yang ia sebut God Gene, alias gen Tuhan. Oleh karena
urgensi tersebut, maka jaminan terhadap hak dan kebebasan manusia dalam
beragama sangat penting untuk dilindungi sebab hal ini menyangkut kebutuhan
khas manusia.
Tuhan dan kehidupan manusia merupakan dua entitas yang tak dapat dipisahkan. Orang Jawa mengenal falsafah urip mung mampir ngombe sebagai pengingat bahwa kehidupan di dunia ini hanya berlangsung singkat, tidak abadi. Alih-alih sebagai tujuan, hidup di dunia tak lebih sekedar terminal bagi kehidupan selanjutnya, yakni alam akhirat yang kekal dengan Tuhan sebagai tujuan.
Dalam perjalanan
kehidupan yang hanya mampir ini,
setiap orang menghadapi masalahnya masing-masing. Mulai persoalan rumah tangga,
kehidupan sosial, keuangan, kesehatan, hingga keyakinan. Ibaratnya, sejak
terlahir di dunia, manusia telah membawa masalahnya sendiri. Lazimnya,
seseorang menganggap sebuah masalah sebagai ujian, cobaan, atau musibah. Namun
ada juga sebagian kecil orang yang melihat masalah sebagai sebuah nikmat. Bagi
kelompok terakhir, masalah tak ubahnya pupuk yang mampu membuat diri kita
tumbuh dan berkembang. No pain no gain.
Tatkala seseorang
sudah merasa tak lagi mampu menanggung masalah yang mendera, biasanya saat
itulah sosok Tuhan mulai dicari dan diraba. Berharap Tuhan, sebagai kekuatan
Maha Besar akan membereskan dan mengudari masalah-masalahnya. Kesadaran ini
sering kali muncul secara spontan dan natural. Sampai sini kita memperoleh pemahaman
mengapa kebutuhan akan sosok Tuhan sangat vital bagi kehidupan manusia. Dari
titik ini juga lahir berbagai macam agama yang sejatinya merupakan sarana bagi
manusia untuk mendekat terhadap Tuhan.
Islam tak luput
menyinggung persoalan ini. Dalam surat al-Baqoroh ayat 156, dituturkan bahwa
orang-orang yang sabar ketika tertimpa musibah selalu mengucapkan kalimat istirja’: Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn. Sesungguhnya
kami milik Alloh dan kepadaNYA kami kembali.
Tuhan adalah
tempat pelarian bagi manusia ketika tertimpa musibah. Tuhan adalah tempat
berlindung bagi manusia ketika terombang-ambing oleh gelombang dahsyat problematika
kehidupan. Tuhan adalah alasan puncak bagi berbagai pertanyaan pelik yang tak
sanggup dijawab manusia. Tuhan adalah tempat pulang. Tuhan adalah kampung
halaman.
Melalui metafor simbol
dan keindahan aforisme yang memukau, Rumi menjelaskan hubungan antara kehidupan
manusia dan Tuhan dengan sangat menarik -jika tidak dapat dikatakan dramatis-.
Dalam ajaran Rumi (baca: Tarekat Maulawiyah) dikenal tarian Sama’, yakni sebuah konser spiritual
dengan tarian berputar yang dikenal sebagai The
Whirling Darvish (Darwisy yang
berputar). Konon, tarian Sama’ mulai
dilembagakan oleh Rumi pasca perginya guru sekaligus sahabat yang sangat
dicintainya, Syamsuddin Tabriz.
Dalam konser
spiritual Rumi, komponen alat musik yang paling terkenal dan sakral adalah
seruling. Dengan suara yang mendayu-dayu, nada-nada yang dihasilkan oleh
seruling seolah merupa aduan panjang sebuah kerinduan yang menyayat hati
pendengarnya. Seperti ironi, bunyi seruling yang merdu mampu menghadirkan aura
pilu. Melalui metafor seruling, Rumi menyampaikan gagasan filosofisnya tentang
manusia dan Tuhan.
Menurut Rumi,
Tuhan adalah kampung halaman asal manusia. Ketika manusia mulai hidup dan membangun
peradaban di dunia, itulah titik awal di mana umat manusia melakukan perjalanan
panjang meninggalkan asalnya. Naas, setelah bersinggungan dengan dunia dan
hiruk pikuk di dalamnya, manusia justru terperdaya dan berjalan terlalu jauh hingga
membuatnya lupa akan jalan pulang, yakni Tuhannya. Barulah ketika tertimpa
masalah, manusia akan mencari-cari Tuhan, mengadu dalam tangis panjang. Nah, suara
rintihan ketidakberdayaan manusia saat tertimpa musibah inilah yang dianggap
Rumi sebagai sayatan rindu manusia terhadap Tuhan.
Manusia bernasib
serupa seruling. Mengapa suara yang dilahirkan seruling amat memilukan? Sebab
itu tak lain merupakan manifestasi rindu -semacam kerinduan yang tak bermuara-.
Sebagaimana kerinduan manusia yang mencuat akibat keterpisahannya dengan Tuhan,
seruling juga merindukan pohon bambu sebagai asal muasalnya sebelum ditebang,
terpisah, dan dibentuk menjadi sebuah seruling.
Keterpisahan
adalah musabab rindu. Seluruh bisik kegalauan dan lengking teriak keputusasaan
manusia adalah pengejawantahan dari kerinduan mendalam akibat keterpisahan
dengan Tuhan semenjak ia dilahirkan sebagai manusia. Manusia lahir menanggung
rindu. Oleh karenanya Islam mengingatkan pemeluknya agar selalu mengucapkan dan
menghayati kalimat istirja’ agar
manusia selalu ingat asalnya. Agar manusia tidak melupakan kampung halamannya yang
sejati sebelum merantau di kehidupan dunia yang fana.
Sayang sekali
dalam kenyataannya, di kalangan kita kalimat istirja’ justru lebih akrab dengan kematian. Padahal jika diresapi
maknanya secara mendalam dan serius, kalimat tersebut tidak hanya berfungsi
secara formalitas sebagai pemanis ungkapan bela sungkawa, namun juga sebagai
pengingat asal usul kita yang sejati. Lebih dari itu, kalimat istirja’ juga merupakan pengakuan jujur
bahwa manusia tidak memiliki daya apapun di dalam kehidupan dan di hadapan
Tuhan. Jika nilai-nilai dari kalimat istirja’
mampu disarikan dan diterapkan dalam kehidupan manusia -tidak hanya sebagai
kalimat pembuka kabar duka di toa-toa surau dan penghias karangan bunga -tentu
kita akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam menghadapi peliknya
persoalan hidup dan lebih menghargai betapa mahal harga yang harus dibayar
untuk sebuah rindu. Wallahu a’lam.
"JUARA 2 LOMBA MENULIS ESEI PERCIK.ID"
www.percik.id
BalasHapusMuhammad Imdad
Rumi dan Istirja’
"Tulisan ini merupakan juara 2 lomba menulis esei yang diselenggarakan oleh percik.id"