PERCIK.ID- Dalam menjalani hidup, salah satu hal yang paling penting
untuk menjadikan hidup menjadi lebih berarti adalah menjalani fase menyendiri.
Rosululloh saw. menjalani hal ini ketika kemudian beliau mendapatkan wahyu
untuk pertama kalinya di Gua Hiro’. Di kalangan
kaum sufi, ada 2 istilah yang biasa digunakan, yaitu Kholwat
(menyendiri) dan ‘Uzlah (Mengasingkan Diri)
Apapun istilahnya, menyendiri dan menjauhkan diri dalam
waktu tertentu memberikan efek baik baik pelakukanya. Abuya Miftahul Luthfi
Muhammad mengatakan,
كان حفظ الدين قلة
الخلطة مع خلقه
“Termasuk menjaga agama yaitu sedikit berbaur dengan manusia
seluruhnya”
Hal ini jumbuh dengan apa yang didawuhkan oleh Imam
Junaid al-Baghdad, “Barangsiapa mengingingkan agamanya sehat dan raga serta
jiwanya tentram, lebih baik ia memisahkan diri dari banyak orang. Sesungguhnya
zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memilih
kesendiriannya.”
Takdirnya, kita sekarang “dipaksa” oleh Alloh swt. untuk
menyendiri secara mandiri. Covid-19 membuat segala perkumpulan dan yang berbaur
dengan banyak orang dilarang. Bukankah ini adalah momentum nyata bagi kita
untuk menempa diri sendiri dengan kesendirian yang telah disediakan?
Menjadi sangat indah, ketika ternyata keadaan ini terjadi
di bulan Romadlon. Bulan yang istimewa bagi umat islam. Toh ritus-ritus yang
biasa dijalankan bersama di tahun-tahun sebelumnya sesungguhnya tidak dilarang
untuk dilakukan sendiri. Tarowih misalnya, Rosululloh saw. lebih banyak menjalankannya
sendiri.
Yang menjadi masalah dengan menjalankannya sendiri -biasanya-
adalah karena kemalasan untuk melakukannya. Dalam suasana kholwat,
kemalasan semacam ini tentu harus ditekan secara mandiri.
Menyendiri adalah alat tekan untuk mengikis segala
perkara yang biasa dilakukan bersama, yang menjadikan mudah melakukannya,
menjadi pekerjaan yang dilakukan secara mandiri dengan alarm yang juga harus
dari diri sendiri.
Covid-19 adalah anugerah berhikmah yang patut kita
jadikan sarana pembelajaran banyak hal dalam kesendirian yang harus kita
jalani. Alat tempa di tengah pandemi, sarana mengkualitaskan diri di bulan
suci. Toh sudah sering dikatakan oleh para penganjur Islam, bahwa Romadlon
merupakana sarana pembelajaran untuk hidup semakin berkualitas di bulan-bulan
setelahnya. Kesendirian yang dijalani mengukuhkannya.
Bahkan, sedikitnya intensitas bertemu orang merupakan
obat tersendiri bagi seseorang, utamanya bagi hati yang sakit. Hal ini
dinyatakan oleh Ibnu Mubarok ketika ditanya, “Apakah obat bagi hati yang
sakit?”. Beliau menjawab, “Berjumpa dengan orang sejarang mungkin”.
Dalam kesendirian tersebut akan banyak hal yang didapat. Misalnya
yang dikatakan oleh Syaikh Sa’id Romadlon al-Buthi dalam Kitab Syarh Hikam Ibnu
Athoillah yang beliau tulis. Kholwat memberikan pengaruh besar bagi jiwa
seseorang. Memahami banyaknya kekurangan, serta sedikitnya rasa syukur atas
nikmat Alloh, merasa bahwa betapa Alloh telah memberikan kenikmatan melebihi
kebutuhan. Hal tersebut akan menjadikan kita semakin mawas diri, waspada, tidak
lagi memiliki rasa suka terhadap perkara-perkara tersebut seperti sebelum
berkholwat.
Lantas apa gunanya jika kemudian kembali berbaur dengan
banyak orang, ke pasar, dan menjalankan aktifitas dagang sebagaimana biasanya?
Dijawab oleh Syaikh Sa’id Romadlon al-Buthy, bahwa
kholwat tidak menjadikan seseorang kemudian enggan datang ke pasar dan berbagai
urusan lainnya, tetapi perubahan tersebut tampak pada komitmen terhadap
perintah Alloh berkaitan dengan urusan-urusan dunia. Ia menjadi tidak melakukan
kecurangan dalam urusan perdagangan. Juga pandangan pada dunia yang mulai
bergeser. Jika sebelumnya dunia bak kekasih yang selalu ada di hati dan harus
ia gapai, pasca kholwat, ia mampu untuk mengendalikan diri dalam urusan-urusan
duniawiyah.
Betapa ketika hal ini dipraktikkan dalam suasana pendemi
dan Romadlon kali ini, akan muncul manusia-manusia baru yang bisa mengendalikan
diri dalam perkara yang berurusan dengan dunia. Pikiran tidak melulu
untung-rugi, tidak selalu uang, tapi bergeser pada hal-hal yang berfaedah untuk
hakikat kehidupannya.
Apalagi ada yang memprediksi, pasca pandemi ini, manusia
akan semakin rakus dan trengginas pasca kerugian besar yang dialami. Banyak
orang ingin meraup sebanyak mungkin demi menambal kerugian.
Hal ini tentu tidak terjadi, apabila dalam kesendirian
yang kita lakukan, kita merenungi banyak hal, dan menjadi manusia baru yang
tidak lagi memandang dunia dengan cinta seperti sebelum-sebelumnya.
Yang pasti, apa yang terjadi kali ini adalah laboratorium
pembelajaran besar bagi kita semua untuk belajar menjadi manusia yang lebih
memberikan waktu bersama Alloh daripada berbaur dengan banyak orang. Sebab ada
sebagian ulama’ yang mengatakan, “Ketika Alloh hendak memindahkan hambaNYA menuju
keta’atan, DIA menjadikan intim dalam kesendirian, kaya dalam kesederhanaan,
dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini,
berarti ia telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirot”
Barangkali sebelum ini kita tidak punya waktu menyendiri
dan merenung. Barangkali Romadlon tahun-tahun sebelumnya, kita tidak mampu
mentadabburinya. Hingga Romadlon kali ini, Alloh “memaksa” kita menjadi manusia
yang mulia, dengan cara yang dipilihNYA.
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
Menyendiri di Bulan Suci