PERCIK.ID- Beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan cerita menarik
salah satu teman soal pentingnya akhlak dalam berinteraksi. Sebab secerdas
apapun seseorang, sejenius apapun ia, gagal interaksi membuat kecerdasan itu
seolah sia-sia dan tak berbekas.
Ceritanya, ia membuat sebuah rancangan rakitan alat
tertentu. Ia merakit segala sesuatunya dengan rijit dan terukur dibantu
karyawannya. Menurut hitungannya, apa yang dia rancang sudah benar-benar tepat,
tidak ada yang salah. Ia pun meminta bantuan karyawan untuk memasang ini itu
yang sudah ia tata.
Tapi apa yang ia ekpektasi dan bayangkan ternyata salah
besar. Hitungan matematis dan rijitnya gagal total. Hanya karena satu hal yang
jelas ia tidak menyadari efeknya. Akhlak!
Itu terjadi karena ia menyuruh karyawan ini-itu dengan tidak
sopan. Ia menunjuk apa yang ia minta untuk dipasang tidak dengan tangan, tapi
dengan kaki. Betapa ini jelas tidak estetik.
Karena geram dengan akhlak bosnya yang buruk, salah satu
karyawan meludahi sambungan listrik sebelum memasang di alat yang dirakit luar
biasa rijit itu. Dan ketika semua telah dirasa siap, rakitan pun dinyalakan.
Tentu saja rakitan itu tidak sesuai yang diharapkan bosnya, rakitan itu
meledak. Hitungan rijitnya tak berakhir seperti yang ia bayangkan. Sekali lagi,
masalahnya hanya satu, akhlak!
Kita bisa mengambil pelajaran, bahwa indeks prestasi,
ranking, kecerdasan otak, tanpa akhlak, tanpa sopan santun, tanpa laku yang
baik, adalah bomerang yang membuat kemampuan-kemampuan itu tidak berkutik.
Tak heran, Islam menekankan akhlak dalam berinteraksi
sesama manusia dengan begitu kompleks. Bahkan ukuran keimanan seringkali
berkait erat dengan bagaimana tindak tanduknya dengan sesama manusia -juga
kepada makhluk Alloh yang lain-. Misalnya ketika Rosululloh ditanya, “Wahai Rosulullah, Islam
apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin
selamat dari lisan dan tangannya”.
Selain balasan dari Alloh yang jelas akan didapat kelak,
bagaimana akhlak seseorang akan dipetik ketika masih hidup. Orang yang baik
dengan sesama, akan menuai apa yang dilakukan. Maka Rosululloh saw. sangat
menganjurkan umatnya untuk memperhatikan soal-soal hubungan sosial agar tidak
menjadi manusia yang hina. Salah satunya melarang seseorang untuk menghina
orang tuanya sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang menghina orang tuanya
sendiri?
Seseorang menghina orang tuanya sendiri ketika ia
menghina orang tua orang lain. Sebab jelas anaknya tidak akan terima, dan
kemungkinan besar akan menghina balik orang tua yang menghina. *
Seseorang menjadi mulia atau tidak, tidak hanya
ditentukan oleh tempaan yang diimplementasikan dalam ranah privasi untuk
dirinya sendiri, tapi juga respon atas apa yang dilakukan pada orang lain.
Untuk menjadi -dalam istilah Abuya Miftahul Luthfi
Muhammad- Human Elyon, seseorang perlu memperhatikan out put dari
input yang dilakukan. Selain tempaan diri yang dilakukan, akhlak menjadi
faktor kunci untuk menjadi manusia mulia.
Barangkali itulah alasan mengapa dalam kata pengantar
beliau di buku Human Elyon, Abuya Miftahul Luthfi Muhammad menyorot
rendahnya modal sosial sebagai perkara yang menjadikan seseorang sulit menjadi
manusia mulia. Pun dalam isi buku tersebut, selain beberapa hal penting
mengenai tempaan diri dengan berbagai hal-hal baik, beliau memasukkan hal-hal
yang berkaitan dengan urusan akhlak sebagai pembahasan yang tak kalah penting
untuk dipahami.
Untuk menjadi mukmin yang mulia, seseorang harus
berakhlak mulia, perlu untuk memuliakan orang lain. Sebaliknya, untuk menjadi
manusia yang hina, seseorang hanya perlu bersikap buruk kepada orang lain. Tapi
tentu seorang mukmin tidak akan memilih yang kedua. Seperti yang didawuhkan
oleh Abuya Miftahul Luthfi Muhammad,
المومن لا يذل نفسه
“Mukmin tidak menghinakan diri sendiri”
Selain urusan yang berkaitan dengan urusan akhlak, tentu
saja seseorang perlu untuk mengoptimalisasi perbaikan diri dalam perkara yang
berkaitan dengan urusan ’ubudiyah. Terus memperbaiki diri, dan berbuat
baik kepada orang lain menjadi 2 kekuatan yang tidak bisa dilepaskan. Keduanya
mesti berjalan beriringan dalam bingkai yang biasa disebut dengan hablum
minalloh, dan hablum minan-nas.
-----------------------------------------------
* Rosululloh saw. bersabda:
”Termasuk dosa besar, seseorang menghina kedua orang tuanya.” Para sahabat
bertanya, “Bagaimana seseorang bisa menghina orang tuanya?” Rosululloh
menjawab, “Dia menghina seseorang, kemudian orang tersebut menghina bapak dan
ibunya.”
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
Mulia dengan Memuliakan Orang Lain