PERCIK.ID- Saya tersentil
ketika membaca tulisan berjudul, Anak-Anak dan Imajinasi Liar Mereka tentangTuhan yang tayang di Terminal Mojok Minggu (22/3) silam. Membaca
tulisan tersebut mengembalikan memori masa kanak-kanak saya yang hampir saja
raib digilas lupa. Ingatan tentang bagaimana gambaran Tuhan dalam benak kita
sewaktu masih kanak-kanak dulu.
Jika dalam tulisan
tersebut Tuhan sering kali dideskripsikan anak-anak sebagai sosok besar
berjubah putih nan bercahaya, saya lain lagi. Tuhan dalam bayangan saya adalah
sosok berwujud laki-laki dewasa, berjubah hitam dan bertudung kepala, serta
memiliki suara yang berat. Dengan membayangkan Tuhan yang demikian, saya
akhirnya memiliki semacam rasa takut tersendiri setiap kali saya habis
melakukan kesalahan. Baru bayangin perawakannya saja saya sudah merinding.
Deskripsi saya tentang
Tuhan yang demikian itu saya peroleh dari menonton beberapa acara religi di televisi.
Tepatnya dari pengisi suara yang membacakan Al-quran (firman Tuhan) beserta
artinya pastilah seorang laki-laki dengan suara yang diberat-beratkan. Dan
itulah yang membuat saya menyimpulkan, jangan-jangan Tuhan emang berupa pria
perkasa.
Maka sering juga
kalau saya sedang baca kisah Nabi-Nabi, pada bagian ketika Tuhan berfirman,
pasti akan saya baca dengan suara berat dan dalam. Mmmm kira-kira intonasinya
sama seperti pengisi suara dalam acara Khazanah Trans 7 gitu lah.
Teman perempuan
saya pun sama halnya. Dia bahkan berada di titik lebih ekstrem ketimbang saya
dan teman-teman lainnya. Dia dengan pedenya bilang kalau dia dan Tuhan itu
pacaran.
Kalau dia sudah
sangat kesal kami usili, dia pasti bakal nangis sambil berujar, “Awas kamu ya, tak aduin ke Gusti Alloh.” Saya
menyambut ujaran tersebut dengan tawa meledek, sampai kemudian dia meneruskan ucapannya
lagi, “Awas aja, Gusti Alloh itu pacarku, og.
Pasti aku dibela.” Pernyataan yang seketika membuat tawa saya tersekat.
Dalam batin saya, sejak kapan dia dan Tuhan jadian?
Saya dan
teman-teman sepermainan memang sering begitu. Menjadikan Tuhan sebagai tempat
peraduan kalau kami merasa terpojokkan. Misalnya, ketika diledekin, ketika
tidak diajak bermain, ketika tiba-tiba didiemin, ketika kalah berantem, ketika
merasa dicurangi ketika main petak umpet dan main kelereng, atau ketika kalah
rebutan layangan putus. Maka itulah saat di mana Tuhan harus dilibatkan. “Awas
ya, tak kandakke Gusti Alloh koweee.” Sambil sesenggukan, itulah
kalimat pamungkas yang sangat ampuh untuk membuat hati teman-teman luluh.
Orang tua kami pun
tidak jarang juga menggunakan trik tersebut. Dalam kasus ketika anak-anaknya
lagi bandel atau susah buat dibilangin, jurus andalan para orang tua kami
pastilah kalimat, “Kalau nakal, nanti tak
laporin Gusti Alloh, biar di-pupoh (dipukul).”
Saya sendiri, kalau ibu saya sudah bilang begitu, pastilah saya akan diam
mematung sambil dengerin omelan yang rasanya kok ya tidak ada titik ujungnya
heuheuheu. Ha gimana, kalau udah bawa-bawa Tuhan, saya langsung bayangin sosok
berjubah hitam bersuara berat itu, je. Mengerikan.
Hal yang baru saya
sadari, ketika kami masih berupa bocah rembes dan umbelen (ingusan), dalam diri kami ternyata telah tumbuh kesadaran:
kalau kami sejatinya tidak punya daya apapun kecuali berkat pertolongan Tuhan.
Kami sangat butuh dan bergantung penuh pada kemurah hatian-Nya. Pernyataan “Tak laporke Gusti Alloh” dan semacamnya
itu adalah ekspresi kepasrahan dan pengakuan, kalau kami ini lemah, kami ini
nggak berdaya, kami ini hanya mengais-ngais perlindungan dari Alloh.
Yang keren tentu
teman perempuan saya. Bayangkan, dia mengaku pacaran sama Tuhan, loh. Ini
adalah sebuah upaya agar merasa lebih dekat dengan-Nya. Seperti teorinya Mbah Sudjiwo
Tedjo yang menyebut, “Wujud Tuhan paling nyata adalah perempuan” (berlaku juga
sebaliknya). Kata Mbah Tedjo, mengimajinasikan Tuhan seperti ini sangat efektif
untuk membangun intimitas spiritual dengan Sang Pencipta.
Beberapa waktu
yang lalu saya sempat ikut nimbrung anak-anak yang main petak umpet di
pekarangan rumah saya. Ada satu anak yang merasa dicurangi karena dia dapat
giliran jaga lebih panjang dari yang lain.
Sambil nangis dia berseloroh, “Awas ya kalian, abis ini aku aduin ke
Gusti Alloh.” Mendengar itu teman-temannya yang lain reflek merespon, “Yeeee
emang kamu tahu Gusti Alloh itu kayak apa?” “Tahuuu. Gusti Alloh itu bisa
terbang, punya tongkat ajaib.” Entah dapat dari mana, tapi jawaban anak itu
bikin saya seketika tertawa karena de
javu dengan masa kecil saya sendiri.
Yang tidak mengenakkan
adalah, tiba-tiba ada orang dewasa—yang kebetulan lewat—justru menegur mereka.
“Husss. Jangan bayangin Gusti Alloh kayak gitu. Dosa.”
Menurut saya, orang
dewasa tidak sepatutnya mengacaukan imajinasi anak-anak. Karena pada dasarnya
anak-anak itu tumbuh dengan dibekali kesadaran spiritual yang luar biasa.
Meraba-raba wujud Tuhan tentu sah-sah saja karena mereka masih dalam fase
mencari tahu dari satu kebenaran ke kebenaran yang lain. Ini pernah dialami
juga kok sama Ibrahim muda. Ketika dia disembunyikan di dalam gua, dan tentunya
sebelum diangkat sebagai Nabi, dia sering merenung dan membayangkan:
jangan-jangan bulan, matahari, bintang, dan benda-benda langit di atas sana
adalah Tuhan?
Hal ini juga
senada dengan apa kata pepatah: bahwa anak-anak adalah filsuf sejati. Karena
mereka selalu bertanya, selalu ingin mencari tahu jawaban atas banyak hal.
Sangat cocok dengan ungkapan Jostein Gaarder, “Kalau ingin jadi filsuf, jadilah
seperti anak-anak.”
Saya jadi
berpikir, istilah yang menyebut, “Anak-anak terlahir sebagai kertas putih” sepertinya
kurang pas kalau diartikan sebagai semacam kekosongan pengetahuan. Ya, bagi
sebagian orang, dunia anak-anak adalah duni bertanya, yang membuktikan
anak-anak belum tahu apa-apa.
Kalau saya justru
punya pandangan begini, putih itu kan bersih atau jernih. Dengan begitu,
anak-anak sejatinya masih memiliki kejernihan hati dan kemurnian jiwa yang
ditiupkan langsung oleh Tuhan. Itulah kenapa kemudian mereka sering kali
menanyakan tentang bagaimana bentuk Tuhan? Sedang apa Dia saat ini?, Apakah Dia
punya semacam istana seperti dalam film-film kartun Disney? Dan pertanyaan atau
pernyataan liar sejenisnya. Bagi saya itu bukan kepolosan, itu kejernihan
pikiran mereka.
Dan para orang tua
harusnya bangga kalau anaknya sedang berada di fase tersebut. Itu menunjukkan
bahwa jiwanya sedang diusik oleh Tuhan sendiri agar dia meraba-raba Tuhan seperti
apa yang sekarang dia imani? Kalau tidak pernah mengalami hal semacam ini,
pastinya Nabi Ibrahim tidak bakal sampai pada kesimpulan: Oh matahari atau bulan atau bintang itu bukan Tuhan. Masa iya Tuhan
bisa lenyap. Tuhan itu harusnya tetap.
Sayang sekali kita
tidak bisa kembali jadi anak-anak. Masa-masa penuh kejernihan dan kejujuran. Menjadi
dewasa justru membuat kita berjarak dan tidak bisa jujur di hadapan Tuhan.
Bilangnya “Tidak ada Tuhan selain Dia,” eh, ternyata kita memberhalakan
harta-benda. Bilangnya beriman sama Tuhan, eh masih juga takut besok tidak bisa
makan.
Aly Reza