PERCIK.ID- Secara umum mukmin itu
ada yang cerdas ada yang bodoh. Inilah pemahaman atas dawuh Kanjeng Nabi saw.
perihal hadis yang menerangkan siapa mukmin yang cerdas itu.
Mukmin cerdas adalah ia
yang sadar jika hidup itu mutlak menunggu datangnya maut. Karena memang maut
sunnatullohnya mengejar setiap yang bernafas. Seperti juga rejeki, ia mengejar
yang hidup.
Sejatinya manusia atau
setiap yang diciptakan Gusti Alloh tidak perlu bingung, apalagi ribut masalah
rejeki. Seharusnya yang diributkan adalah memersiapkan diri untuk dijemput maut
sewaktu-waktu yang datangnya tidak menentu juga tidak dapat diduga.
Kanjeng Nabi Muhammad
Rosululloh saw. kadawuhan,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّات
“Perbanyaklah mengingat
pemutus kelezatan [maut]” (Hr.Nasa’i: 1824; Tirmidzi: 2307; Ibnu Majah: 4258;
Ahmad: 2/292. Dari Sahabat Abu Huroiroh).
Pada riwayat lain
diterangkan,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه
وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ
: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : «
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا
أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».
Dari sahabat Ibnu Umar,
ia berkata, “Saya pernah bersama Rosululloh saw., ada seorang Anshor mendatangi
beliau, ia memberi salam lalu bertanya,
“Wahai Rosululloh,
mukmin manakah yang paling baik?”
Beliau dawuh, “Yang
paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?” ia kembali
bertanya. Beliau dawuh, “Yang paling
banyak mengingat mati, dan yang paling baik dalam memersiapkan diri untuk alam
berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas” (Hr.Ibnu Majah: 4259).
Jelas kan? Sangat berbeda
antara mukmin kebanyakan dan mukmin cerdas. Disebut cerdas menerut Kanjeng Nabi
saw. bukan menurut siapa-siapa.
Maka, menjadi aneh
sekaligus lucu apabila “sekolah”, “kuliah”, dan “mondok”. Dikatakan cerdas
apabila “nilai” atau memiliki “kemampuan” ini-itu yang berbeda dengan
kebanyakan peserta didik lainnya.
Akibatnya, pendidikan
kaum muslimin tidak melahirkan “mukmin cerdas”. Sebaliknya, banyak melahirkan
“kaum culas” yang berpenyakit “wahn” dan “hubbud dunya”
Ini realitas. Tidak
dapat dipungkiri. Hingga datangnya “pandemi” covid19 yang menjungkir-balikkan tatanan
apa saja, termasuk pendidikan di seluruh dunia.
Banyak orang mencibir,
sewaktu alfaqir paparkan berbagai hal mengenai hakikat pendidikan, sebab
menurut “mereka” apa yang alfaqir terapkan dalam mendidik kedua putra kami, dan
para mukimer-mukimeroh; menurut “mereka” tidak lazim. Bahkan, dikatakan aneh.
“Mau jadi apa, anak-anak
kok dididik untuk tidak punya ijazah? Mau makan apa kelak jika hidup tidak
punya ijazah?” demikian gerutu sekaligus cibiran “mereka” kaum berijazah, yang
teologinya “certificate is everything”.
Padahal, seharusnya
setiap muslim itu teologinya, “Alloh is everything”. Akibatnya, “mereka”
dikatakan pandai dengan banyak gelar namun lupa mati (lalai maut). Sungguh, ini
model orang yang sangat berbahaya.
Realitas inilah yang
merusak alam demokrasi di NKRI. Mayoritas kaum politisi menjadi dungu sebab
wahn dan hubbud dunya. Konon, munculnya pandemi covid19 dijadikan ajang politik
murahan kaum dungu tersebut.
Padahal, semestinya
pandemi covid19 menjadi ajang NKRI yang bersatu, kompak, rukun lagi harmoni.
Disebabkan, melalui
model pembelajaran sifat dzikrul-maut seseorang terlimpahi beberapa hal yang
sangat bagus, seperti:
- Mendapatkan
pahala ibadah sampai takdir maut benar-benar menjemput.
- Semakin
fokus sewakti solat, dan ibadah lainnya. Kanjeng Nabi saw., dawuh,
أُذْكُرِ الْمَوْتَ فِى صَلَاتِك فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ
فِى صَلَاتِهِ فَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ وَصَلِّ صَلَاةَ رَجُلٍ لَا
يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّي صَلَاةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وُكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ
مِنْهُ
“Ingatlah mati dalam
solatmu, karena jika seseorang mengingat mati dalam solatnya. Ia memerbagus
solatnya. Solatlah seperti solat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih
punya kesempatan melakukan solat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang
kelak malah kamu meminta udzur [meralatnya] karena tidak bisa memenuhinya”
(Hr.Dailami, Musnad al-Firdaus).
- Selalu
memersiapkan diri untuk berjumpa Gusti Alloh
- Selalu
memerbaiki diri. Kanjeng Nabi saw. dawuh,
أَكْثِرُوا ذِكْرَ
هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فَإِنَّهُ مَا ذَكَرَهُ أَحَدٌ فِى ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ
إِلَّا وَسَّعَهُ عَلَيْهِ وَلَا فِى سَعَةٍ إِلَّا ضَيَّقَهُ عَلَيِهِ
“Perbanyaklah mengingat
pemutus kelezatan [mati]. Karena jika seseorang mengingatnya sewaktu hidupnya
sempit. Ia merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya sewaktu hidupnya
lapang. Ia tidak tertipu dunia lalai akhirot” (Hr.Ibnu Hibban & Baihaqi).
- Sekuat
tenaga termotivasi menghindari dan meninggalkan perilaku aniaya.
Karenanya, imani lagi
yakini kalamulloh ini,
ٱلَّذِي
خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ
وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
[Alloh] yang menjadikan
mati dan hidup, supaya DIA menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih
baik amalnya. Dan, DIA Mahaperkasa lagi Mahapengampun” (Qs.al-Mulk [67]: 2).
Setiap yang hidup di
dunia ini pasti merasakan mati, pasti didatangi maut. Hanya orang bodoh yang lalai
dari dzikrul-maut. Hanya orang goblok yang di dalam hati dan jiwanya
terus-menerus tersimpan mau hidup seribu tahun lagi.
Momen dan setiap
fenomena yang hadir di kehidupan kita, wajib dijadikan pembelajaran sifat,
bahwa ada yang mutlak dalam proses menjalani hidup ini, yakni kematian.
Realitas yang pasti terjadi namun banyak orang justru melalaikan dan tidak mau
memersiapkan diri.
www.percik.id
BalasHapusAbuya Miftahul Luthfi Muhammad (Gus Luthfi)
Mukmin Cerdas, Siapa Ia?