PERCIK.ID- Teman saya menyampaikan
pesan dari sesepuhnya tetua di Jombang bahwa kiranya sedang makan ngerasa
enak banget, maka berhentilah. Bukan dalam rangka mencegah meledaknya timbangan
berat badan, atau soal diet yang menyehatkan badan. Bukan pada bab itu inti pesan
yang dia utarakan.
Demikian pesan singkat beliau dalam mengarahkan murid-muridnya agar menjadi manusia teguh, tatag, dan lantip hati dan pikirannya dengan terus melatih jasmani kita dalam keadaan ‘puasa’.
***
Apapun itu, tidak bisa dipaksakan mekanisme terjadinya. Dia mempercayai bahwa takdir telah ditentukan, dan usaha kita sekeras apapun dalam mendobraknya, tak akan bisa menjebol pintu takdir itu.
Boleh jadi beliau tak pernah mengenal arti Islam, tapi pokok-pokok yang beliau sampaikan adalah sebentuk nasehat yang sarat hikmah keberserahdirian dan ketundukan yang merupakan inti dari Islam.
***
Bukan soal itu. Dia ingin mengatakan bahwa berlepaslah dari hasrat akan uang. Berserius-seriuslah bergantung pada Yang Maha Kuasa, meskipun uang tampak menguasai segala.
***
Kemungkinan itu bisa jadi memang ada. Tapi acuh tak acuhnya kita pada kedalaman hikmah hidup, apalagi pesan keselamatan dari Tuhan, bukankah sesuatu yang mestinya kita khawatirkan?
Kenyang itu buruk, kita
tahu pasti itu dari sabda Nabi. Tapi berhenti saat enak-enaknya makan, tentu
jangkauan riyadhoh yang lebih dari sekedar berhenti sebelum kenyang.
Pada titik pencapaian itu, kita tak lagi sedang mengusahakan sehatnya raga,
melainkan merawat dan menghidupkan pijar-pijar ruhani dan jiwa.
Lha wong berhenti sebelum kenyang aja susah, apalagi pas
enak-enaknya makan.
Soal kelaparan itu buruk, pasti
benar adanya. Namun bedakan, kelaparan dengan lapar. Lapar saja, itu baik.
Tentu yang paling buruk adalah kekenyangan. Maka perlu kita temukan presisi batasan
pada ukuran kita masing-masing untuk kondisi-kondisi ini: kelaparan – lapar –
kenyang – kekenyangan.
***
Guru saya mengingatkan agar
tidak terlalu banyak tidur. Beliau tidak sedang mengajak saya begadang yang
serba tak menyehatkan, melainkan mengarahkan saya untuk mengurangi kenyamanan.
“Ngurangi mangan wareg,
ngurangi turu taneg, ben ora deleg-deleg.”
Demikian pesan singkat beliau dalam mengarahkan murid-muridnya agar menjadi manusia teguh, tatag, dan lantip hati dan pikirannya dengan terus melatih jasmani kita dalam keadaan ‘puasa’.
***
Seorang tetangga yang sudah
memasuki usia tua, terus menerus mengulang cerita yang sama, berapa kalipun
saya dolan kerumahnya. Bahwa hidup, “opo jare” saja. Tidak perlu
dipikirkan terlalu rumit, jalani saja. Iya, jalani saja.
Apapun itu, tidak bisa dipaksakan mekanisme terjadinya. Dia mempercayai bahwa takdir telah ditentukan, dan usaha kita sekeras apapun dalam mendobraknya, tak akan bisa menjebol pintu takdir itu.
Boleh jadi beliau tak pernah mengenal arti Islam, tapi pokok-pokok yang beliau sampaikan adalah sebentuk nasehat yang sarat hikmah keberserahdirian dan ketundukan yang merupakan inti dari Islam.
***
Kawan yang juga penasehat
saya mengatakan bahwa sebagai Muslim sejati, kita harus berani bilang bahwa
uang itu tidak penting. Dia menegur pendapat yang saya utarakan bahwa kita
tetap butuh uang untuk ‘memenangkan’ berbagai persaingan yang merugikan kemaslahatan.
Bukan soal itu. Dia ingin mengatakan bahwa berlepaslah dari hasrat akan uang. Berserius-seriuslah bergantung pada Yang Maha Kuasa, meskipun uang tampak menguasai segala.
***
Tuhan juga berpesan, bahwa
dunia ini adalah senda gurau saja. Segala soal didalamnya – keturunan,
uang, jabatan, karir, dan segala pencapaian kita – adalah permainan belaka. Seberapapun
nilainya, tiada penting sama sekali.
Bahkan Alloh memberi tamsil
bahwa kemuliaan dunia ini tak lebih berat dari sebelah sayap nyamuk saja. Atau,
semisal kita mencelupkan jari ke laut, maka nikmat dunia setara dengan sisa air
yang ada di jari itu, dibandingkan nikmat akherat yang seluas samudra tadi.
***
Tapi, apa daya..
Nasehat-nasehat diatas nggak
laku dijual hari ini; menjadi barang lapuk yang tidak dicari orang. Omong
kosong belaka. Blas nggak aplikatif sama sekali.
Kita counter semua
itu dengan tudingan akan mengendorkan semangat ikhtiar, pembenaran untuk malas,
juga mungkin hanya argumen-argumen yang mengedepankan alasan saintifik yang tak
bisa (belum) menemukan logika rasionalnya.
Kemungkinan itu bisa jadi memang ada. Tapi acuh tak acuhnya kita pada kedalaman hikmah hidup, apalagi pesan keselamatan dari Tuhan, bukankah sesuatu yang mestinya kita khawatirkan?
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Onggokan Omong Kosong