PERCIK.ID- Ada bayak cerita dalam rentang waktu tujuh tahun lamanya nyambi sebagai penjual buku bekas di samping pekerjaan utama menjadi manusia yang luar biasa susah itu. Karena saya pemalas dan tak cukup disiplin menuliskannya, maka tinggal sedikit saja yang tersisa di ingatan yang sejatinya telah penuh juga dengan tumpukan persoalan-persoalan tak penting.
Selain semakin banyaknya tumpukan buku sebagai sarana pamer(an) di media sosial—sebab di dunia nyata hampir tak ada kawan atau tetangga yang iri, kepengen punya, untuk kemudian terobsesi mengoleksi, menyaingi buku kepunyaanku— juga semakin banyaknya judul buku yang kuhafal. Kalau ada kawan bertanya, apa sudah kubaca semua buku yang kupunya, selalu kujawab, sudah dong. Karena menang sudah kubaca semua... judulnya. Kalau isinya, ya nanti dulu.
Sebagai pedagang, cara berpikirku nampaknya tak pernah mengalami perubahan yang berarti, atau apalagi transformasi yang muluk. Pokoknya bagaimana buku laku dijual, kemudian dapat untung untuk kulak lagi. Sesekali nuruti karep menyimpan satu-dua buku yang kusuka untuk sarana pamer(an) tadi. Asas manfaat atau misi mulia menumbuhkan dan merawat tradisi literasi itu cuma impian, terkait di awan tinggi. Tapi barangkali perlu juga tajdidun niat, memperbarui niat. Gusti, niat ingsun berdagang demi kelengkapan pengabdian hamba kepada Engkau, juga demi Nabi Muhammad yang telah meneladankan dan memuliakan para pekerja. Amin.
Kujalani profesi “memulung” buku sebagai sarana bersenang-senang. Senang memiliki buku kadang-kadang tak terkait sama sekali dengan kesenangan dan kegemaran membaca. Jadi jangan terlampau kagum dulu kepada orang yang punya banyak buku, menganggapnya pintar atau seorang intelektual. Sebab, kadang tak lebih cuma seorang tukang pamer saja seperti saya. Kesenangan itu kadang berubah wujudnya jadi obsesi untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, lain waktu menjelma tekanan: jatah bulanan istri, bayar listrik dan internet, servis sepeda motor dan keistiqomahan ngule dan nyate kambing. Tapi obsesi dan tekanan itu kan bagian dari proses bersenang-senang juga.
Kesenangan dan kegembiraan itu terkait dengan banyak pihak, yaitu kawan-kawan pemasok buku. Saya musti berterima kasih kepada saudara-sadaraku pemasok buku yang sudah menaruh kepercayaan. Sebab kulakan buku tak melulu soal berapa banyak uang yang kita punya, lebih dari itu adalah soal hubungan baik: keakraban dan saling percaya.
Tak terhitung berapa kali kubawa berkardus-kardus buku tanpa membayarnya terlebih dahulu karena memang dana yang pas-pasan. Kalau sudah begitu, saya selalu bersiasat, macul langit kalau kata kawan seprofesi, berdiplomasi di hadapan Tuhan, “Ya Alloh, mereka kan punya anak istri, lima lagi. Kalau aku kan cuma satu, belum terlampau emegensi. Kalau tak Engkau tidak membantu melunasi kulakan ini, apa tak kasihan Engkau kepada keluarganya? Dan kawan pemasok yang satunya, teman akrabku itu, Engkau tahu sendiri, ia yatim piatu sejak kanak-kanak, seorang jomblo yang belum punya istri untuk mengurusnya, kalau tak Engkau bantu melunasi kulakan ini, ia nanti jadi tak bisa beli kopi dan rokok untuk meringankan hidupnya yang berat”.
Kalau sudah begitu biasanya Tuhan tak tega dan lalu melariskan jualan bukuku. Aku jadi bisa membayar mereka, mereka pun jadi tak hilang rasa percayanya untuk menawari buku. Siklus seperti itu sudah berjalan sampai tujuh tahun lamanya. Dahsyat bener Alloh itu. Top!
Dari buku, Tuhan mencukupkan hidupku, sampai kini. Anak istriku masih bisa makan nasi dengan lauk macam-macam. Aku bisa nyeduh kopi Mandailing sambil makan tempe goreng dan mendengarkan Iwan Fals dari PC bekas yang kubeli, mengirim uang untuk orang tua di desa, nyangoni keponakan-keponakan, menghutangi kawan dan saudara yang membutuhkan dan aneka macam kenikmatan yang akan panjang sekali kalau dicatat seluruhnya.
Orang-orang kecil itu, kawan-kawanku, saudara-saudaraku dalam dunia buku, tangguhnya luar biasa. Asal dapat penglaris 50 ribu sehari atau kurang dari itu, mereka sudah bisa berseloroh, sambil tersenyum, kadang juga tertawa kepada sesama penjual buku, “Alhamdulillah, dapat penglaris! Aku wis ora kocong...”. “Kocong” itu istilah yang mereka ciptakan sendiri, bahasa yang membantu mereka untuk tak putus asa dan menertawakan “nasib buruk” ketika dagangan buku belum ada yang laku.
Kalau tiba-tiba datang perasaan kecewa dan sedih atas hidup yang saya jalani, saya teingat kawan-kawan saya itu. Lalu saya jadi malu untuk bersedih. Mereka menertawakan kesedihan. Kesedihan tak bisa lebih kuat dari mereka.
Lain waktu saya cerita lagi soal dunia buku bekas. Lampiran kertas-kertas itu, yang baunya lebih menenangkan dibanding bau hujan, meski tak bisa lebih unggul dibanding bau ketiak istri.
Bacaan yg Baguss
BalasHapus