PERCIK.ID- Islam memiliki 5 rukun yang harus dijalankan.
Syahadat, solat, puasa, zakat, haji. Kelima perkara tersebut harus tertunaikan
dengan berbagai hukum pengiring yang menentukan bagaimana tata aturannya.
Akan tetapi yang barangkali jarang disadari,
ibadah yang sering terstigma dengan hablum minalloh belaka ini memiliki
kaitan yang erat dengan hablum minan-nas (hubungan dengan manusia)
ketika kita berbicara proses dan outputnya. Dasarnya jelas dan tegas, ada di
dalam al-Qur’an dan hadis.
Syahadat, misalnya. Seseorang yang
telah menyatakan syahadat -bersaksi tidak ada Tuhan selain Alloh, dan Muhammad
merupakan utusan Alloh- sudah selayaknya memiliki karakter seperti yang diatur
oleh Alloh. Untuk mencapai derajat yang mulia dan menjadi muslim yang
sesungguhnya, karakter itu selayaknya melekat padanya. Ini merupakan
konsekuensi logis dari sebuah persaksian atas ketuhanan Alloh swt.
Ternyata tata aturan untuk menunaikan syahadat
yang benar dan terhitung sebagai muslim-mukmin yang sempurna imannya malah
seringkali berkaitan dengan hablum minan-nas. Ini berdasar pada apa yang
disabdakan oleh Rosululloh saw., “Seorang mu’min [yang sempurna] yaitu orang yang manusia
merasa aman darah mereka dan harta mereka dari gangguannya.”
Di hadis yang lain, Rosululloh saw. ditanya “Wahai Rosululloh, Islam apakah yang paling
utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan
dan tangannya”.
Dari rukun kedua juga demikian. Solat
yang lekat sekali hubungannya dengan ibadah yang mutlak untuk Alloh ternyata
memiliki hikmah yang berhubungan erat dengan manusia. Kita bisa menela’ahnya
dari gerak dalam solat yang diawali dengan takbirotul ihrom, kemudian
ditutup dengan salam. Dimulai dengan hubungan Alloh, di akhiri dengan menebar
salam kepada manusia. Sebagaimana makna salam sendiri yang maknanya memberikan
do’a dan harapan untuk orang lain. “Keselamatan atas kalian beserta rohmat dan
berkah Alloh”.
Bukankah mendo’akan semacam ini termasuk
bagian dari humanisme yang nyata? Keseimbangan antara hubungan dengan Alloh dan
hubungan dengan manusia benar-benar terjaga dengan praktik solat yang dilakukan
oleh seseorang.
Ini bisa juga ditarik ke dasar al-Qur’an yang menjelaskan
mengenai efek solat, “Sesungguhnya solat itu mencegah keji dan mungkar”
(Qs.al-Ankabut [29]: 45)
Dari kelima rukun Islam barangkali hanya zakat
yang lebih tampak lekat dan erat kaitannya dengan hubungan pada sesama manusia.
Zakat tidak hanya sekadar dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh Alloh kepada
setiap manusia yang bernyawa.
Di bawah zakat yang wajib, ada grade
bernama sedekah yang menjadi kesunnahan dalam ajaran Islam. Sama seperti zakat
yang menunjukkan kepedulian kepada orang lain, sodaqoh juga menunjukkan hal
yang sama. Memberikan sesuatu kepada seseorang.
Meski demikian, ternyata unsur humanisme yang
lebih kuat lagi mesti diusung dalam memraktikkan amal ini. Ada tata aturan yang
mesti dibawa ketika melaksanakannya agar tidak salah dalam mengimplementasikan.
Setidaknya dari sisi menjaga hati orang yang diberi. Sebab grade
sedekah, menurut Alloh, tidak lebih tinggi dari perkataan yang baik dan memberi
maaf, jika disertai dengan menyakiti orang yang diberi. Alloh swt. berfirman, “Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan [perasaan si penerima]. Alloh Mahakaya lagi
Mahapenyantun” (Qs.al-Baqoroh [2]: 263)
Di ayat selanjutnya, Alloh swt. menegaskan, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan [pahala] sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti [perasaan si penerima]”
Sama halnya dengan solat, puasa sering alpa
dihubungkan dengan urusan humanisme. Mungkin pandangan ini karena mengacu pada
dalil yang menyatakan, “puasa itu untukku, dan aku yang akan membalasanya.”
Padahal sebenarnya dalil mengenai sikap orang
puasa jelas menunjukkan adanya humanisme yang harus terpraktikkan. Selain
menjaga dari tidak makan dan tidak minum sebagaimana hukum yang biasa
dipahamai, orang yang berpuasa juga dituntut untuk mengendalikan diri dalam
banyal hal, termasuk marah. Maka orang yang berpuasa semestinya memiliki
pengendalian diri untuk tidak terlibat percekcokan dan pertengkaran dengan
orang lan.
Tidak hanya itu saja, orang yang berpuasa juga
diperintahkan dengan nyata untuk menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang
buruk. Rosululloh saw. bersabda, “Puasa itu adalah tameng. Hindarilah
mengumpat dan berkata tidak senonoh. Jika seseorang memukulnya atau
mengumpatnya, maka jawablah, ‘aku sedang berpuasa’”
Di dalam hadis yang lain, Rosululloh saw.
bersabda, “Barangsiapa yang enggan untuk tidak berbohong dan masih
melakukannya, maka Alloh tidak akan peduli akan usahanya meninggalkan makan dan
minum (puasanya)”
Kita bisa melihat humanisme dalam perkara
puasa dengan begitu nyata dan gamblang.
Yang terakhir, ada haji. Sebagaimana 4
rukun Islam yang tidak ketinggalan dalam menunaikan humanisme, Haji juga
demikian. Bahkan dalam berhaji, semua orang dari berbagai golongan disamaratakan
dalam hal berbusana. Tidak akan tampak siapa yang dari golongan orang kaya,
mana orang miskin. Hal ini meretas perbedaan strata sosial antar orang yang
melaksanakan ibadah haji.
Di dalam melaksanakan haji, ada berbagai
larangan yang jika dilakukan maka membatalkan rangkaian haji yang dilaksanakan.
Larangan tersebut di antaranya memuat tentang larangan yang berkaitan dengan
memburuknya hubungan dengan orang lain. Sekali lagi, humanisme menjadi bagi
sisi penting dalam sebuah ibadah. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Alloh
swt. di dalam al-Qur’an, “...barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rofats [berkata tidak senonoh], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji.” (Qs.al-Baqoroh [2]: 197)
Dari sini kita bisa menilai hubungan erat hablum
minalloh dan hablum minan-nas dalam kehidupan seorang muslim, bahkan
di dalam ibadah yang seringkali dianggap tidak memiliki korelasi antar
keduanya. Jika dalam hal ibadah saja Alloh menekankan hubungan yang sedemikian
erat, bukanlah dalam perkara yang di bawah itu semestinya lebih kuat lagi?
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
Humanisme dalam Rukun Islam yang Jarang Disadari