PERCIK.ID- A’robiy
dalam penjelasan para guru ngAJI ialah mereka yang bersuku Arab asli, bukan
hanya ada di desa, namun ada di pedalaman desa. Mereka umumnya lugu, polos, dan
apa adanya. Saking lugunya terkadang mereka bertanya atau berperilaku yang
kelihatannya tidak elok untuk dikerjakan. Bukan karena tidak bertata krama
tetapi karena belum mengerti dengan kebiasaan orang di luarnya yang mungkin
lebih modern. Kalau kata orang Jawa mungkin ndueso pol.
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Sahabat Sa’d ibn Abi Waqosh r.hu. berkata, “Datang dari
pedalaman seorang a’robiy kepada Rosululloh saw. kemudian berkata, ‘Ajarkan aku
sebuah ucapan yang dengannya akan aku amalkan.’”
Lalu Rosululloh
saw. menjawab dengan ramah, “Katakan: Lâ ilâha illallôh wahdahu lâ syarîkalah,
Allôhu akbar kabîro wal hamdulillâhi katsirô wa subhanallôh robbal ‘âlamin, lâ
haula wa lâ quwwata illâ billâhil ‘azizilhakîm,”
Sejenak
sang A’robiy berpikir sebakda Rosululloh memberikan kalam terpuji dari
lisan agungnya. Dengan lugunya sang A’robiy ini melanjutkan pertanyaannya, “Faha-ula’i
li Robbiy, lowalah kalau ucapan demikian kan untuk Tuhanku, fa
mâ lî? Manakah ucapan yang bisa kuamalkan untukku sendiri ?”
Rosululloh
pun tersenyum dan dengan bijak menjawab pertanyaan polos A’robiy ini, “Katakanlah:
Allohummaghfirlî warhamnî wahdinî warzuqnî, Ya Allôh, ampunilah aku,
kasih sayangilah aku, berilah petunjuk, dan karuniakan rizqi untukku.”
Mungkin
jika kejadian antara seorang A’robiy dan Rosululloh Muhammad saw. di atas
terjadi saat ini antara seorang kiai dan seorang awam kemudian disaksikan oleh
para murid atau santri kiai, akan menjadi sebuah peristiwa yang menggemaskan
dan cenderung terlihat kurang unggah-ungguh. Akan tetapi, sungguh
menentramkan jawaban yang Rosululloh sampaikan. Beliau tidak menghakimi
pendapat A’robiy yang menyanggah kalimat thoyyibah dzikir yang Rosululloh
berikan sebagai ijazah pertama kali adalah kalimat yang hanya kembali untuk
Alloh sebagai Dzat Penguasa Alam. Akan tetapi, Rosululloh saw. justru
memberikan solusi ketika Sang A’robiy dengan lugunya bertanya lalu mana amalan
yang bermanfaat untukku sendiri?
Terkadang
atau bahkan sering kita menyaksikan kejadian serupa di kehidupan kita
sehari-hari. Bukan karena lawan bicara kita tidak bersopan santun tapi karena
adat, budaya, dan belum mendapatkan pemahaman mengenai perilaku umum yang
pantas. Bisa jadi memberikan sesuatu menggunakan tangan kiri adalah hal lumrah
dalam adat di luar nusantara, namun menjadi tidak jelita dipandang oleh
kebanyakan orang Indonesia. Menyudutpandangi fenomena seperti ini bisa
menjadikan kita: terbawa arus emosi, tenang tidak bereaksi, atau justru
menerbitkan solusi seperti yang telah diteladankan Rosululloh saw.
Hari ini
banyak terjadi di tengah masyarakat kita dengan angkuh mengomentari, dengan
pedas mengkritik, dengan ringan menyampaikan harusnya tidak begitu, tidak
begini: nasihat yang hanya retorika. Akan tetapi, jangankan menjadi pemecah
masalah, memberikan sebuah pilihan pun tidak mampu, mereka yang menjadi
pengamat biasanya susah sekali untuk memberikan solusi nyata kemudian terjun
pada realita lapangan untuk memberikan perubahan apa yang ia kritik dan
komentari.
Kisah Rosululloh
dan A’robiy di atas merupakan sebagian kecil dari keteladanan Sang Nabi yang
direkam di dalam kitab al-Adzkar sebagai manusia untuk bersikap dalam
menghadapi orang polos yang cenderung terlihat menjengkelkan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang rasanya kurang nyaman untuk disampaikan. Bukan
pertanyaan yang salah namun pertanyaan sang A’robiy membuat kita mengerutkan dahi,
’loh kok gitu?’ Sungguh, manner Rosululloh dalam setiap momentnya
relate untuk kita berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan
serba-serbi karakter manusia.
www.percik.id
BalasHapusSeni Berkomunikasi Rosululloh
(link)