PERCIK.ID- Bagaimana seharusnya sikap Anda, jika katakanlah, ada seseorang yang -tanpa
ijin- nunut meletakkan meja di depan rumah Anda, lalu menjajakkan kudapan,
jajan pasar, dan serba-serbi makanan kecil lainnya. Sehari dua jam saja, habis
subuh hingga selesainya orang lalu lalang berangkat kerja dan sekolah.
Kemudian bebakulan kecil itu ramai. Karena pagi-pagi orang butuh
akses sarapan take away yang praktis dan murah. Makin hari
makin ramai karena rumah Anda memang strategis, terletak di ujung kampung
pinggir jalan, tepat dimana orang masih dengan tenang bisa berhenti sejenak
sebelum memasuki keramaian dan kemacetan.
Tampak, bisnis kecil itu terus berkembang dan, ya, pada akhirnya meja kecil
tadi tak lagi mencukupi kebutuhan makanan dan sajian yang diperjualbelikan.
Berinisiatiflah penjaja kudapan dengan menambah meja panjang. Dia juga
membutuhkan atap untuk menutup tambahan meja itu karena lebihan kanopi rumah
Anda tak lagi cukup melindungi dagangannya kalau-kalau hujan turun.
Didirikanlah terop, bangunan semi permanen sebagai solusi.
Arus perdagangan jajanan dan sarapan sama sekali tak terlihat mengendur.
Sebaliknya, ekspansi meja dan terop mengakselerasi engangement pelanggan.
Kian hari kian membludak.
Hingga ada permintaan pelanggan untuk bisa sarapan di tempat dengan lebih
nyaman. Mereka minta kursi supaya bisa nyruput kopi sebentar sebelum
berangkat perang. Biar melek. Customer request, satu variabel yang tak
mungkin dinafikan oleh pedagang manapun.
Ditatanya meja kursi beberapa set. Itupun masih tanpa seizin Anda sebagai
pemulik rumah yang kini semakin tertutupi oleh warungnya. Alasan yang diyakini
penjaja, toh dia dirikan bisnisnya di atas trotoar, yang bukan milik
siapa-siapa. Bukan juga milik pemerintah, apalagi sekedar pemilik rumah.
Jalan, trotoar, bahkan tanah dan bumi, semuanya milik Tuhan. Dan Tuhan
adalah Yang Paling Maha Kasih, tidak mungkin tidak mengizinkan hambaNYA kalau
cuma sekedar nunut jualan. Lalu tak berselang lama, meja itu sudah menjadi
warung bertembok. Menutupi wajah rumah Anda. Juga kedaulatan Anda sebagai
sesama manusia.
Dalam kondisi yang telah permanen, penjaja kudapan dan sarapan sudah tak
lagi layak disebut penjaja. Barangkali lebih tepat disebut pemilik warung.
Karena toh kini bentuknya beneran warung.
Ada meja kursinya, ada yang dijajakan, dan yang membuatnya absah sebagai
warung, ada tempat memasak lengkap dengan area korah-korah. Jangan
lupakan komponen utama: bangunan permanen yang sudah ditandai spanduk print-print-an
bertuliskan “Warung Barokah”.
Edyan. Barokah dibawa-bawa.
Seringkali penjaja tidur juga di warung itu. Barangkali sebentar lagi
beranak pinak disana.
Anda, sebagai pemilik rumah yang pernah menegurnya untuk tak semakin mancep
karena berbagai alasan mengotori, ramai, sampai misalnya menutup cahaya
matahari pagi yang sehat, tak pernah digubris barang sekali saja.
Konsepnya sama, Anda tak berhak melarang, sebab barang milik Anda yang mana
yang diambil? Memangnya Anda punya apa? Wong cahaya, ruang, tempat, kebebasan,
keleluasaan, dan semuanya milik Tuhan.
Barangkali Anda bisa minta tolong Pak RT, Pak RW, atau sekalian pasukan
Satpol PP, bahkan polisi. Secara hukum Anda bisa mencoba cara itu. Tapi secara
sosial dan etika kemanusiaan, Anda telah mati langkah.
Keren
BalasHapus