PERCIK.ID- Tuhan
punya cara yang luar biasa dan beragam untuk mengubah manusia. Cara-cara yang
mengandung experience penting bagi diri manusia itu sendiri dan
orang-orang yang mengambil pelajaran darinya. Begitulah cara Tuhan yang
“Mahasemena-mena” untuk mengubah kehidupan manusia. Abuya Miftahul Luthfi
Muhammad biasa menggunakan istilah Robbwink sebagai diksi untuk
menggambarkan “kerlingan Tuhan” yang diberikan kepada manusia. Robbwink
memberikan transmisi energi tersendiri untuk menambah daya menjadi manusia
unggul.
Salah
satu Robbwink yang menjadi titik perubahan terjadi pada Syaikh Ibrohim bin
Adham, seorang tokoh sufi terkemuka. Ia merupakan putra mahkota yang jelas
bergelimang harta. Kehidupannya tercukupi dan terpenuhi untuk melakukan apapun
yang ia inginkan. Tapi semua itu juga yang kemudian menjadi titik balik
perubahan dalam diri sosok Ibrohim bin Adham.
Suatu
hari, Ibrohim bin Adham keluar untuk berburu kelinci. Tiba-tiba ada suara tanpa
rupa yang ia dengar. “Hai Ibrohim bin Adham, apakah untuk itu engkau
diciptakan? Apakah dengan (perburuan) itu engkau diperintahkan?” Kemudian
bisikan itu muncul kembali, “Tidak untuk itu engkau diciptakan, dan tidak pula
untuk tindakan itu engkau diperintahkan.”
Suara
tanpa rupa tersebut mengoyak batin Ibrohim bin Adham. Kejadian tersebut begitu
mengena di dalam hatinya. Robbwink tersebut menjadi pengubah hidup sang putra
raja.
Ibrohim
bin Adham kemudian turun dari kendaraannya. Dia menemui penggembala yang
bekerja untuk ayahnya. Baju wool penggembala itu diminta dan ia tukar dengan
semua yang dimilikinya ketika itu, termassuk kuda yang ia tunggangi. Ibrohim
bin Adham kemudian pergi melintasi padang pasir sampai masuk Makkah. Di sana
dia berguru kepada Sufyan ats-Tsaury dan Fudail bin Iyadh.
Berawal
“hanya” dari bisikan tanpa rupa itu lahir kesadaran hakikat dirinya sebagai
manusia dan kemudian menjadi manusia yang sangat amat kuat dalam menjalani
pilihannya sebagai jawaban atas pertanyaan “untuk apa kamu diciptakan?”
Kesungguhan perubahan hidupnya membawa hingga ke jalan sufi dan menjadikannya
jalan hidup yang ia tapaki hingga akhir hayat.
Suara
tanpa rupa yang dialami oleh Ibrohim bin Adham kurang lebih hampir sama juga
dialami oleh René Descartes. Mediumnya yang mungkin berbeda, tapi pada akhirnya
sama-sama menjadi salah satu titik balik dalam kehidupannya. René Descartes
merupakan pemikir besar dunia yang bagi sebagian orang dianggap sebagai bapak
filsafat modern.
Apa
yang ia pilih untuk menjadi seorang pemikir bukan tanpa proses. Ia menjalani
proses panjang hingga kemudian menjadi seorang pemikir yang masyhur. Pilihan itu didasari salah satu mimpi dari
berbagai mimpi yang ia alami. Dalam mimpinya ia mendapati dirinya tengah
menggamit setumpukan kertas yang salah satunya memuat sebuah puisi yang bermula
dengan kalimat, “Quad vitae sektabor iter?” – “Hidup apa yang akan
kau ikuti?”
Pertanyaan
itu memberkan titik tekan pada René Descartes untuk menemukan jalan hidup yang
akan ia tempuh. pertanyaan yang seca makna sama dengan apa yang didengar oleh
Ibrohim bin Adham. Bedanya, René Descartes memilih hidup sebagai seorang
pemikir yang kita kenal hingga kini.
“Quad vitae sektabor iter?” bagi
keduanya dengan bahasa yang berbeda pada akhirnya menguak hakikat hidup yang
mereka pahami. Pilihan yang mereka berdua ambil adalah jalan hakikat kehidupan
dalam interpretasi yang harus mereka ikuti. Jawaban atas pertanyaan tersebut
merupakan final dari apa yang mereka tetapkan dan jalani.
Perbedaan
pilihan atas pertanyaan yang sama ini jelas dilatarbelakangi oleh berbagai
unsur. Bukankah hal perbedaan semacam ini merupakan sesuatu yang lumrah dan
bisa terjadi pada siapapun?
Latar
belakang pikiran, ilmu, lingkungan, dan budaya turut andil dalam menentukan
jawabannya. Misalnya ketika seseorang sakit karena minum air, analisa
penyebabnya bisa jadi berbeda dan tentu akan memengaruhi penanganannya. Bagi
orang yang masih berpegang pada budaya kuno akan menganggap bahwa penyakitnya
disebabkan kuwalat dengan penunggu pohon besar karena bertepatan minum di bawah
pohon tanpa uluk salam terlebih dahulu. Untuk bisa kembali pulih, diharuskan
membawa sesajen yang ditaruh di bawah pohon tersebut, misalnya.
Tapi
tentu anggapan semacam itu tidak akan mungkin ada dalam pikiran orang-orang
modern yang tidak mengenal budaya semacam itu. Analisisnya akan berkutat pada
masalah medis dan sains. Karena air yang tidak bersih, karena Ph air yang
melebihi kapasitas yang dibutuhkan tubuh, atau karena pikiran yang kalut ditinggal
nikah pacar yang mengakibatkan imunitas menurun hingga minuman tidak higenis
sedikit saja bisa menganggu kesehatannya.
Itulah
yang terjadi pada jawaban “Quad Vitae Sektabor Iter?” Ibrohim bin Adham
dan René Descartes. Pertanyaan yang sama, jawaban yang berbeda. Kebenarannya dalam
pandangan manusia tergantung pada latar belakang ilmunya masing-masing. Sedang
kebenaran hakikatnya jelas hanya ada di tangan Tuhan.
www.percik.id
BalasHapusAhmad Yusuf Tamami
“Quad Vitae Sektabor Iter?” Ibrohim bin Adham dan René Descartes