PERCIK.ID- Cukup
masyhur lantunan doa yang berbunyi Allohumma shoyyiban nâfi’an di
tengah-tengah muslim mukmin saat guyuran hujan turun ke muka bumi. Ia menjadi
permohonan mulia agar seluruh tetesan air dari langit benar-benar menjadi
manfaat bukan sebuah petaka. Ya Alloh, jadikanlah hujan ini bermanfaat. Sudah
barang tentu, setiap kekeringan dan tanah gersang menanti kesegaran. Ia
berharap dari jatuhnya air saat musim penghujan tiba. Adalah kekhawatiran
ketika musim penghujan terjadwalkan namun airnya tak kunjung menetes. Mereka
yang bertani di negeri ini sungguh berharap-harap sawah ladangnya segera basah
agar bercocok tanam sesuai dengan standar operasional prosedurnya dengan hasil
yang optimal.
Apakah
hanya saya yang merasakan atau mungkin cenderung tidak peka terhadap perihal
ini? Jujur, selama 4 tahun berkecimpung di lapangan dan langsung terjun ke
masyarakat akar rumput: petani dan peternak tradisional, saya merasakan bahwa
selama 4 tahun ini baru di tahun ini hujan yang turun seperti halnya hujan yang
biasanya. Ketika peternak saya berkeluh kesah dengan panjangnya musim kemarau
beberapa tahun lalu, yang menyebabkan hijauan segar untuk ternak sulit didapat.
Mereka yang petani juga merasakan demikian. Sepertinya, untuk tahun ini hujan
di tempat saya tinggal sudah lebih sering turun dibandingkan di kota-kota besar
seperti Surabaya. Setidaknya, seminggu sudah 2-3 kali, walaupun intensitasnya
tidak terlalu deras dan durasinya tidak lebih dari satu jam.
Sungguh,
saya merasa bahwa kali ini adalah hujan yang biasanya. Ketika masih bersekolah
di bangku SD, SMP, bahkan SMA, guru saya menjelaskan bahwa bulan kemarau
berlangsung sejak bulan April-Oktober, sedangkan penghujan akan dimulai sejak
Oktober-April. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang turunnya hujan justru
di Bulan November pertengahan, 2020 kali ini hujan di tempat saya sudah
“pemanasan” turun ke bumi sejak September minggu terakhir, seperti layaknya
seorang lelaki yang mendekati perempuan idaman, sejak awal Oktober gerimis
mulai sering apel ke tanah kami. Alhamdulillah, Oktober 2020 menyesuai dengan
teori pelajaran geografi zaman SD dulu.
Situasi
pandemi yang begini ini, memang membuat saya akhirnya lebih punya waktu me and
family time yang lebih banyak. Termasuk soal mencermati fenomena hujan ini.
September yang lalu saat saya dan sejawat dokter hewan melaksanakan program
pengobatan masal gratis di salah satu desa, saya melihat 2 ekor elang sedang
terbang di atas langit kami. Mereka terbang berkeliling, seakan berkejaran.
Saya tidak memahami betul behavior elang namun keberadaannya terbang
waktu itu seakan-akan isyaroh bahwa bumi sedang dalam pemulihan kembali normal,
pasalnya di tempat yang sama selama 4 tahun ini saya tidak pernah menyaksikan
elang terbang di teritori itu.
Sepertinya,
situasi pandemi di seluruh dunia yang mau tidak mau mengharuskan jutaan mobilitas
kendaraan bermotor, industri dan pabrik berhenti bekerja dan tutup untuk
sementara membuat angka polusi udara jauh menyusut. Udara jadi lebih segar,
cuaca lebih ramah, dan pepohonan yang tertiup angin seakan menyapa dengan tarik
hembus nafas yang lebih plong. Begitupun hujan yang turun kali ini, ia
beradaptasi dengan alam hingga takdir Alloh untuk menurunkannya sesuai dengan
kajian para ilmuwan geografi beratus tahun lalu saat bumi ini belum terpolusi
separah sekarang oleh kesibukan dan kepentingan manusianya. Pandemi Covid-19
menjadi ibroh yang besar untuk penghuni bumi yang dengan takdirNYA
menyelaraskan keadaan dengan fitroh dan sunnatullohNYA, insya Alloh. Semoga
tidak hanya terjadi di tempat tinggal saya, namun terjadi di belahan bumi
lainnya. Bumi kembali bernafas sesuai ritmenya. Kemarau sesuai porsinya, hujan
yang biasanya. Amin.
percik.id
BalasHapusHujan yang Biasanya