PERCIK.ID- Kontekstualisasi Islam memperbandingan antara
orang yang berilmu dan orang ahli ibadah dengan perbandingan yang timpang,
“Seperti bulan purnama di antara bintang-bintang”. Dalam
perbandingan-perbandingan yang lain juga disebutkan mengenai tingkat derajat
orang berilmu yang lebih tinggi dari sekadar orang yang ahli ibadah saja.
Apa yang menyebabkan perbandingan dua kepemilikan
ini begitu mencolok? Bahkan bukan hanya orangnya, tapi juga aktivitasnya.
Bukankah Rosululloh saw. mengatakan bahwa “merenung sejenak lebih besar
pahalanya daripada solat 80 roka’at?”
Jika ditelisik, Islam memang kuat dalam memberikan
pressing bagi umatnya untuk “meng-added value” dirinya dengan
ilmu pengetahuan. Yang jelas, sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad,
bekal “iqro’” dari Alloh menelusurkan umat Islam pada keilmuan dengan begitu
kuat. Kemudian itu berlanjut dan semakin kokoh dengan tuntutan mencari ilmu
dari lahir sampai mati.
Salah satu yang menguak keutamaan ilmu adalah
sikap yang ditunjukkan pemiliknya. Muatan dalam ibadah antara yang berilmu dan
tidak jelas juga berbeda. Perbedaan lain yang terasa adalah soal isi hatinya.
Soal ukuran kemuliaan dan ketakwaan, kita jelas
tidak punya kapasitas untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi pancaran
diri dari apa yang ada di hati seseorang kadangkala punya tempat tersendiri
untuk dirasakan oleh orang lain. Ketenangan dalam menghadapi masalah, solusi
solutif yang diberikan berbagai problem yang mendera serta perkara-perkara lain
yang mampu dihadapi dengan cerdas. Perantara untuk menerapkan itu ada pada
kepemilikan ilmu yang kemudian menghantarkan pada kedekatan hati pada Tuhan.
Setiap orang punya rasa kedekatan pada Tuhan
dengan skala yang beragam. Tapi ilmu mengaktualisasinya menjadi lebih kuat.
Kekhusyukan, perasaan, kedekatan, keterkaitan, keterlibatan diri, membentuk
manusia untuk merasakan Dzat yang sedemikian pengasih. Kedekatan itu sendiri
merupakan bentuk kualitas diri yang tidak banyak dimiliki oleh orang-orang yang
mengaku beriman sekalipun.
Keilmuan memuati hati untuk merasakan kehadiran
Tuhan menjadi lebih syahdu yang mendalam. Tak heran apabila para ulama’ mendifinisikan
fungsi ilmu sebagai sarana untuk menjadikan semakin takut kepada Gusti Alloh.
Maka, bagi orang-orang yang bergelut dalam dunia
tashowwuf, atau orang-orang yang menempuh suluk, yang dominan mendapat
perhatian adalah urusan hati. Urusan keterlibatan batin dalam menghamba kepada
Alloh. Merasakan pengabdian tidak hanya dalam hal lahiriyah saja, tetapi perasaanya
ikut hanyut dalam gerak amaliah yang dilakukan.
Tak heran apabila salah satu syarat yang sering
diproklamirkan bagi orang-orang yang hendak menempuh jalan suluk adalah tuntas
dalam memahami syari’at. Karena syar’iat ikut andil dalam menguatkan perjalanan
suluknya. Bekal ilmu dan pemahaman penting untuk memuluskan jalan suluk.
Kiranya semua faham berpandangan sama, tashowwuf tidak bisa dilepaskan dari
pondasi syari’at yang harus lunas terlebih dahulu.
Sekali lagi, kedekatan hamba kepada Tuhannya ada
di hati. Tuhan –bisa jadi- lebih dekat di hati orang berilmu yang sedang
menghisap sebatang rokok, daripada orang bodoh yang sedang solat.
Jangan bilang, “lantas kenapa harus solat, jika
bisa lebih dekat dari orang bodoh yang solat?” Sebab ketika tidak solat saja
kedekatannya terbangun sedemikian kuat, apalagi ketika solat. Solat adalah
kedekatan puncak bagi orang-orang yang menghamba kepadaNYA.
Ini pula yang hikmah di balik pondasi syari’at
dalam menempuh jalan tashowwuf. Syari’at menggaris batasi kedekatan tersebut
agar tetap berada dalam jalurnya. Kecuali kedekatan dan kecintaannya telah
membuat akalnya tidak lagi bisa mencerna segala sesuatu selain Tuhan. Cintanya padaNYA
membutakan selainNYA.
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
www.percik.id
BalasHapusKedekatan Itu Ada di Hati(link)