Kontradiksi Industrialisasi
bagi Ahsani Taqwîm
Semenjak terjadinya
revolusi industri dua abad silam hingga hari ini arus industrialisasi semakin menjadi-jadi
seiring kemajuan teknologi, tantangan manusia untuk menjadi manusia rupanya
semakin sulit. Pola pikir dan pola kehidupan masyarakat industri yang serba
terstruktur, terukur, dan terencana, pada satu sisi membawa banyak kemajuan,
namun pada sisi lainnya juga berdampak negatif bagi kemanusiaan itu sendiri.
Harus diakui, bahwa
modernisasi dan industrialisasi membawa pada kemakmuran bagi kehidupan manusia.
Sebab dengan adanya industrialisasi, hampir semua proses produksi -dalam hal
apa saja, bahkan misalnya susu sapi sekalipun, sampai memunculkan spesies baru
yang disebut sapi perah- direkayasa, di-efiseinsi-kan, dan dikelola supaya
menghasilkan output yang melimpah ruah sehingga tercukupi segala hajat
hidup manusia dengan berlebihan baik.
Dalam rangka mencapai
kematangan masyarakat industri yang mapan dan makmur tadi, manusia harus
membentuk sistem yang disiplin, terpola, terstruktur, terkontrol, bahkan
terprediksi. Hidup masyarakat industri adalah hidup yang sangat pakem dengan produktifitas,
jam-jam dan hari-hari kerja yang rutin, serta cara-cara kerja yang birokratis.
Yang kemudian menjadi soal
adalah, dalam masyarakat dan sistem industri yang terhubung dalam pola-pola
yang teratur itu, manusia hanyalah satu bagian kecil dari mekanisme besar. Ia digunakan,
atau dibuang, berdasarkan fungsi yang mampu ia berikan. Ringkasnya, manusia
adalah instrumentasi. Hal inilah yang, menurut Cak Nurcholis Madjid dalam
bukunya “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan”, disebut sebagai dehumanisasi.
Industrialisasi semestinya
bernilai positif bagi kemanusiaan karena mengangkat harkat dan martabat manusia
melalui kemakmuran, namun rupanya justru kemakmuran itu diperoleh dengan
membayarkan kemanusiaan itu sendiri.
Di sisi lain, seperti yang
pernah kita jabarkan sebelumnya, bahwa sebagai wujud ahsani taqwîm,
manusia lengkap memiliki akal, ruhani, dan keluasan jangkauan kemampuan yang
luar biasa. Ironisnya, potensi besar itu seolah-olah terkurung dalam jeruji era
industri yang membuat manusia sekadar menjadi insutrumentasi belaka.
Kunci Ahsani Taqwîm pada
Ketersambungan Ruh Ilahiah
Ahsani taqwîm sendiri bisa kita pahami melalui berbagai kemungkinan
pintu pengetahuan. Salah satu yang paling umum adalah keberadaan akal yang tak
dimiliki oleh makhluk lain. Pak Quraish dalam Tafsir Al Mishbah menyatakan
bahwa ahsani taqwîm yang berarti sebaik-baik bentuk tidak terbatas pada
pengertian fisik semata, melainkan meliputi akal, pemahaman, dan psikologisnya.
Sampai pada titik ini, kita
bisa menemukan korelasi antara sifat masyarakat industri yang amat rasional dan
saintifik dengan potensi akal manusia. Segala kemajuan industri berpijak dari ketajaman
akal dan pemahaman manusianya. Sains dan teknologi adalah bagian mutlak dari
industri, dan keduanya adalah produk dari akal manusia.
Sayangnya, lebih jauh dari
itu, Pak Quraish menambahkan dalam tafsir ayat selanjutnya dari Surat at-Tin
tersebut mengenai asfala sâfilîn, yang menurut beliau, adalah keadaan
dimana ruh Ilahi belum menyatu dengan diri manusia. Sehingga mafhum
mukholafah-nya, manusia dengan akal sehebat apapun, tetap bisa berjarak
dengan kondisi ahsani taqwîm.
Ahsani taqwîm adalah a complete package/a full set dari manusia
yang memiliki ketajaman akal, kedalaman pemahaman, kematangan psikologis, dan
yang terpenting, ketersambungan atau menyatu dengan ruh Ilahi.
Kita bisa mengambil
perspektif yang ditawarkan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani untuk mengejar lebih
jauh mengenai bagaimanakah ketersambungan dan penyatuan manusia dengan ruh
Ilahi sehingga absah menjadi ahsani taqwîm tadi.
Beliau menjabarkan dalam kitabnya,
Sirrul Asror, bahwa manusia sejatinya adalah 'jagad kecil' yang luasnya jauh
melampaui semesta. Manusia dengan akal-rasionya dan kedalaman ruhaninya,
sebenarnya memiliki jangkauan dan daya jelajah tak terbatas untuk mewadahi alam
raya.
Terbukti manusia mampu
menggapai hal-hal yang sangat amat 'abstrak'; semenjak pecahan partikel cahaya
hingga blackhole yang entah dimana dan bagaimana wujud materinya. Juga
bahkan ide-ide, ataupun visi masa depan yang bisa dirancangbangunkan oleh akal
manusia. Sesuatu yang, jika merujuk definisi Yuval Harari sang penulis
selebriti itu, merupakan barang-barang fiksi (tidak bisa dilihat, diraba, dan
dirasakan).
Menggunakan pendekatan
demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa dengan kompetensi
serupa itulah manusia bisa mengerti, memahami, mengenal, lalu pada akhirnya
bisa menggapai ruh Ilahi. Dalam ranah esoteris tersebut, kita mengenal
makrifat, tajalli, atau dalam penafsiran orang Jawa dikenal dalam idiom ‘Manunggaling
Kawula Gusti.’
Semua itu, sekali lagi,
tercapai dalam tataran ruhani, spiritual, dan kesadaran iman. Ketersambungan
manusia dengan ruh Ilahi, yang menjadikannya sebaik-baik ciptaan terwadahi oleh
keluasan ruhaninya. Sesuatu yang agaknya sulit dicerna manusia industri, dengan
metode modern dan saintifik seperti apapun juga.
Dalam dunia modern dan
industrialis yang serba saintifik, empiris, dan bahkan materialistis (apa-apa
harus terbayang wujud dan bentuknya), hampir-hampir mustahil untuk menembus
pintu ruh Ilahi yang sangatlah abstrak. Sebab Alloh laisa kamitslihi syaiun,
tiada mungkin kita bayangkan dan buktikan secara empiris keberadaanNYA. Namun
sangat amat nyata jika kita masuki dari pintu ruhani yang penuh iman dan cinta.
Tanpa bermaksud mengecilkan
harkat manusia yang bergelut dalam dunia modern, karena toh saya dan Anda
sekalian memang sedang hidup dalam habitat seperti itu, maka setidak-tidaknya dalam
rangka memenuhi amanahNYA untuk menjadi ahsani taqwîm tadi, perlu
kiranya kita meletakkan akal pada jagrak yang tepat.
Kita wajib mengimbangi
hegemoni dunia industri dengan romantisme akal pada ranah-ranah eksoteris yang
sangat duniawi dan kebendaan, dengan terus menjaga ketersambungan pada ruh
Illahiah dengan menjaga jiwa dan kesadaran (consciousness).
Hanya dengan itulah, kita
masih bisa berharap menjadi sebaik-baik ciptaanNYA di dunia yang semakin hari
semakin menggila.
mumtaz
BalasHapus