PERCIK.ID- Pukul 17:05. Gendhing laras pelog mengalun
pelan menemani semilir angin sore di pelataran Kinara Kinari Prambanan.
Gendhing hidup dari gamelan yang barangkali usianya tak lebih tua dibanding
para pemainnya itu, merasukkan ketentraman dalam jiwa setiap penikmatnya.
Demung, siter, gender, seruling,
dan selipan suara sinden sepuh, ditambah remang sinar sore dan semilir angin
yang tak panas namun juga tak juga dingin, dipadu pemandangan terbuka yang
langsung menghadap Candi Prambanan, adalah kombinasi sempurna dari kenikmatan
dunia. Demikiankah kiranya surga?
Barangkali terlalu jauh
angan-angan itu. Sebab konon kabarnya, di Surga sana, sudah tiada lagi kita
temui apapun selain bahagia. Sedang perasaanku, ditengah nuansa menentramkan
ini, sedang ada dalam keadaan yang amat sebaliknya. Betapa aku benci sekali!!
Kenapa aku tidak bisa
menikmati potongan surga yang jarang-jarang kualami ini? Kenapa sekali-kalinya berada
dalam suasana yang ayem tentrem, justru batinku serba tak tenang?
Bahkan, semakin berusaha kutenang-tenangkan, semakin tak karuan kesemrawutan
perasaan yang aku rasakan.
Pukul 17:18. Pria setengah tua
itu akhirnya selesai mengambil makanan prasmanan dan duduk di meja bundar
tempat aku sendiri menunggu sedari tadi. Diletakkannya piring kecil yang hanya
berisi dua iris melon, satu belahan semangka, dan tiga potong nanas. Ada satu
tusuk gigi yang tampak bekas habis terpakai ditancapkannya di salah satu
potongan nanas tadi.
Rupanya benar kata banyak
orang, beliau tak suka pakem-pakem aturan. Daripada menggunakan pakaian formal
seperti hadirin lainnya di pelataran Kinara Kinari yang sedang dipacak
resmi, dia malah hanya mengenakan kaos dan celana pendek saja.
Ada aksesoris tambahan berupa
topi bulat yang dipakainya, barangkali untuk menutup kepala plontos yang
menjadi ciri khasnya. Dan, ya, tetap saja, dia tak peduli dengan dress code atau
aturan apapun, seperti halnya makan buah dengan tusuk gigi bekas, bukan dengan
garpu. Yek, sangat menjijikkan!
“Piye Mas, sehat?”
Begitu sapanya sembari menarik
kursi kayu untuk duduk, dan tidak melihat aku yang berhadapan dengannya.
Basa-basi yang sungguh keterlaluan. Tapi biarlah, memang tak sepantasnya aku
disini. Keseharianku yang hanya mengurus kebun di lembah Merapi, bergaul dengan
alam dan beberapa tetangga sesama petani, mungkin bukan kelasnya untuk sekadar
mendapat sapaan yang setara darinya.
Kecuali untuk maksud tertentu
yang sampai sekarang aku masih tak tau, aku dipersilakan duduk satu meja
dengannya. Itupun sepertinya dengan diamat-amati orang-orang sekitar yang
berpura-pura menjadi tamu di Kinara Kinari.
“Ngene Mas, iki jalan tol
tembus Jogja arep mulai digarap. Ngkok sampean makili aku dadi Direktur ning
perusahaan konsorsium karo Pemerintah.”
Welah...Tanpa basa-basi lanjutan.
Bahkan aku belum menjawab pertanyaan basa-basinya tadi, dia langsung aku nyrocos tanpa
beban. Terjawab sudah kenapa aku harus hadir sore-sore ke fine dining di
Kinara Kinari ini. Dugaanku mengenai urusan sengketa tanah milik kampung yang
sedang diurusnya rupanya salah.
Sejurus, aku tak bisa menjawab
pertanyaan itu. Bahkan sepertinya, itu bukan pertanyaan, melainkan keputusan
yang tak kuasa aku tawarkan pada lain kemungkinan.
Pukul 17:27. Matahari hampir
habis tergelincir, gelap mulai merambat ke pelataran Kinara Kinari, lampu-lampu
restoran open space yang lux ini mulai terlihat indah
berpendar, dari belakang tampak para penari mulai bersiap, di panggung berlatar
Prambanan yang telah disoroti cahaya, MC sedang membuka acara pertunjukan
sendratari Ramayana yang akan dimulai segera.
Aku masih terdiam, belum
menjawab. Dia tersenyum-senyum menikmati keindahan pelataran Kinara-Kinari yang
memang spektakuler bak surga. Tak lama, dia berdiri. Pergi. Tanpa pamit.
Aku masih terdiam, debar-debar tak juga hilang, kegundahan makin mencekam. Dalam keterhimpitan pikiran dan perasaan, tak tampak jawaban atas pertanyaan: bagaimana nasib sedulur-sedulurku, petani salak yang nanti harus kukorbankan?
www.percik.id
BalasHapusEnggar Amretacahya
Potongan Surga yang Tidak Menyenangkan