PERCIK.ID- Sebelum cas-cis-cus dalam tulisan ini, rasanya saya perlu menekankan
bahwa saya ini bukan golongan kaum Hararian. Meskipun beberapa pendapat yang
akan saya tulis nanti mengambil referensi dari buku Sapiens yang populer itu,
tetap saja saya ogah disebut bagian dari kelompok yang mengagung-agungkan Yuval
Harari.
Benar bahwa penjabaran dan sistimatika penjelasan sejarah manusia versi
Harari dalam Sapiens sangat mindblowing karena tak hanya runut, namun
juga terbangun dalam kerangka logika yang rapi, terstruktur, dan masuk akal. Fakta-fakta
kehidupan di sekitaran yang dapat kita temui hari ini (misalnya saja budaya
agrikultur dan industrial), dalam penyampaian dan penjabaran Harari, menjadi
logis kronologi dan asal muasal ceritanya.
Salah satu yang paling menohok dari buku Sapiens bagi saya tentu saja
adalah fakta bahwa, seperti halnya burung yang terdiri dari berbagai jenis,
demikian juga halnya dengan manusia. Rupanya sudah ada beberapa versi manusia
sebelum akhirnya kita mengenal manusia jenis kita sekarang ini (Homo Sapiens).
Bahkan, manusia terdahulu (sebelum Homo Sapiens) hidup dengan cara berburu dan
berpindah-pindah, sama halnya seperti kebanyakan hewan lainnya.
Saya berkali-kali terlibat diskusi atau obrolan-obrolan yang, entah sengaja
ataupun tak sengaja, menyangkut soal-soal ini. Pertanyaan-pertanyaan yang
terlontar kurang lebih begini: kalau benar begitu, berarti Nabi Adam bukan
manusia pertama, dong? Bukankah dalam Islam sudah jelas disebutkan bahwa
Adam adalah makhluk/manusia pertama yang kelak akan diposisikan sebagai
khalifahNYA?
Tanpa bermaksud memanjang-manjangkan pembahasan Harari tentang Sapiens,
terdapat satu temuan beliau yang layak kita ketengahkan demi menemukan
kesejajaran dengan kebenaran qoth'i dari Qur'an. Sebab, menurut saya,
itulah cara terbaik dalam menempatkan temuan sains dengan wawasan keagamaan
yang seringkali sulit mencapai titik temu.
Kabar dari Alloh yang tersampaikan dalam Qur'an adalah kebenaran absolut
yang mutlak saya yakini, sehingga temuan ilmiah semutakhir apapun musti saya
letakkan sebagai wacana baru yang harus dicari kesejajarannya dengan kebenaran qoth'i
tadi. Bukan sebaliknya.
Seperti yang dikatakan pada buku tersebut, setelah manusia mengalami
sejarah panjang hidup dengan berburu, berkoloni, dan berpindah-pindah, 70 ribu
tahun lalu manusia mengalami lompatan kemampuan logika yang luar biasa, secara
tiba-tiba. Ya, sekali lagi, tiba-tiba. Tanpa melalui mekanisme runut dan logis,
ujug-ujug seolah ada perubahan wiring pada otak manusia.
Jika dulunya manusia hanya hidup seperti hewan dengan merespon apa yang
bisa dilihat, diraba, atau nyata wujudnya, maka ketika itu didapati manusia
mulai bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan berpikir, seperti misalnya: memprediksi
waktu berburu yang tepat, mengkoordinasi metode berburu yang efisien, sampai
membuat perkakas penunjang seperti pisau ataupun tombak dari kayu dan bebatuan.
Bahkan berkesenian dengan membuat patung dan gambar-gambar dinding!
Kemampuan demikian, tak bisa dimiliki makhluk yang hidup dengan sekadar
merespon alam, melainkan haruslah dimiliki makhluk berakal yang bisa
ber-imajinasi, berabstraksi, atau dalam bahasa Yuval, ber-fiksi. Manusia inilah
yang disebutnya sebagai Homo Sapiens, atau 'The Wise Man' alias 'Manusia
Bijak'. Inilah periode yang dinamainya dengan Revolusi Kognitif, titik mula
dimulainya sejarah, kebudayaan, dan peradaban kemanusiaan.
Kemampuan abstraksi manusia jenis Sapiens ini, pada akhirnya menjadi kunci
segala perubahan dan kemajuan (kalau mau kita sebut sebagai kemajuan) dalam kehidupan.
Bahkan tak hanya bagi kaum manusia saja, melainkan meliputi bumi seluruhnya:
air, tanah, udara, tumbuhan, dan binatang, hampir-hampir semuanya dikelola oleh
manusia melalui akalnya. Sesuatu yang pada akhirnya kita sepakati sebagai
bentuk-bentuk tugas kekhalifahan.
Kelak, berbekal akalnya manusia tak hanya mampu menghasilkan peralatan,
perkakas, atau sistem organisasi, namun juga mampu pula mengantarnya menuju hal
yang jauh lebih abstrak, yakni kesadaran berTuhan. Dengan kompetensi serupa
itulah manusia bisa mengerti, memahami, mengenal, lalu pada akhirnya bisa
menggapai ruh Ilahi.
Dalam ranah esoteris, kita mengenal makrifat, tajalli, atau dalam
penafsiran orang Jawa dikenal dalam idiom ‘Manunggaling Kawula Gusti.’ Manusia adalah ‘cermin Tuhan’ sendiri yang dibekali ‘privilege’ akal dan
daya jelajah ruhani tanpa batas hingga bisa menemukan dan menggapaiNYA kembali.
Keutuhan manusia dalam hal fisik, lebih-lebih pada akalnya itulah yang
dalam bahasa agama kita kenal dengan istilah ahsani taqwîm. Sebaik-baik ciptaan
lengkap dengan ketajaman akal, kedalaman pemahaman, kematangan
psikologis, dan yang terpenting, ketersambungan atau kebersatuan dengan ruh
Ilahi.
Berangkat dari kesadaran akal dan potensi kesempurnaannya itu, manusia akan
mengerti bahwa hidup adalah untuk mengabdi sebagai hamba (Abdulloh)
dengan cara mengelola (meng-kholifah-i) kehidupan secara bijaksana.
www.percik.id
BalasHapusSapiens Ahsani Taqwîm