PERCIK.ID- Saya bukan pecinta puisi dan bahkan sering tidak paham dengan apa yang diujarkan para penyair dalam puisi mereka. Tapi ada salah satu puisi, yang meski juga tidak terlalu paham, saya memiliki ketertarikan tersendiri pada puisi ini. Adalah puisi “Batas” dari Aan Mansyur.
“Semua
perihal diciptakan sebagai batas. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain.” Katanya
di pembuka puisinya.
Ketertarikan
itu, selain karena kata-katanya, sebab ia adalah puisi yang dibaca di film “Ada
Apa Dengan Cinta 2”. Sekuel dari film yang mengangkat nama mbak Dian
Sastrowardoyo.
Dan
yang sesungguhnya yang paling menarik bagi saya, adalah penutup puisinya. Akan
saya nukilkan akhir puisi itu di akhir tulisan ini. Selebihnya, saya setuju
dengan konsep kehidupan dengan segala batasnya yang diajukan oleh Mas Aan
Mansyur.
Kita
memang terbatasi dan harus membatasi diri dalam banyak hal. Pada sesuatu yang
sebenarnya bisa kita lepas, tapi batas itu menghalanginya. Bukan karena tak
bisa, tapi kita sendiri yang memilih tak melakukannya.
Saya
pernah menulis di sini soal pembatasan diri pada kesadaran layak dan tidaknya
informasi pada posisi privat dan publiknya. Sebab posisi privat dan publik
menentukan etikanya sendiri. Sesuatu yang semestinya privat, seringkali tidak
layak untuk dipublikkan. Itu juga perihal batas seseorang untuk dengan rela
hati tidak mempublikasi sesuatu yang hanya layak berada pada ranah tertutup.
Konsep
privat dan publik ini juga digarisbataskan dalam hal dosa yang dilakukan oleh
seorang hamba. Dosa kepada Alloh yang dilakukan secara sembunyi dan telah
disembunyikan oleh Alloh, tidak layak untuk diumbar kepada orang lain.
“Semua umatku dima’afkan kecuali mujahirin [menyebarkan
aib dosanya]. Termasuk mujahirin adalah seorang berbuat sesuatu
di waktu malam, kemudian di waktu pagi ditutup oleh Alloh tiba-tiba
ia berkata, ‘Hai Fulan aku semalam telah berbuat ini dan itu.’ Di malam hari Robb-nya
telah menutupinya, tetapi di pagi hari ia justru menyingkap apa yang ditutup
Alloh itu.”
Jika
dosa pada diri sendiri saja tidak layak untuk diumbar, apalagi jika dosa itu
dilakukan oleh orang lain, tentu harus lebih ekstra dalam menjaga agar tidak
tersebar. Selain soal etika, ini juga soal martabat orang lain.
Pada
titik ini, kita memang mesti banyak bersyukur dengan batas yang diciptakan
Alloh. Termasuk batas kemampuan kita. Sebab batas itu menyelamatkan kita dari banyak
keburukan, salah satunya keburukan pikiran atas pengetahuan kita jika kita
tidak punya batas dan tahu tentang segala hal.
Betapa
pikiran negatif bisa membanjiri otak kita dengan sedemikian derasnya jika kita tahu
tentang banyak hal yang tidak semestinya kita tahu. Padahal pengetahuan itu
kemudian berpengaruh pada hati dan perasaan kita perihal posisi orang lain di
mata kita. Bisakah kita menjaminkan hati kita tidak mencap mereka sebagai orang
yang benar-benar buruk dan bisakah kita menjaminkan diri kita tidak merasa
lebih baik dari orang tersebut ketika keburukan itu terpampang jelas di hadapan
kita?
Batas-batas
yang pada saat tertentu ingin kita enyahkan itu punya hikmah besar, yang jika
kita renungi, punya efek luar biasa dalam kenormalan kehidupan kita. Bukankah
kertebatasan pengetahuan kita pada keburukan orang lain, pengetahuan soal
takdir yang berjalan, adalah penghadang kalapnya otak kita dengan pengetahuan
kita sendiri?
Kita
barangkali sering berandai, “andai saya tahu akan begini, andai saya tahu akan
begitu”. Padahal pengetahuan masa depan berpotensi membuat kalut pikiran kita,
karena takdir berjalan tidak bisa kita hindari. Iya kalau pas baik, bagaimana
kalau pas buruk dan kita jelas tidak lagi bisa menghindar?
Bagaimana
jika ketiadaan batas itu membuat seseorang tahu bahwa ia akan mati dalam
keadaan ditabrak kereta, habis semua tulang-belulangnya, darah bercucura
dimana-mana, misalnya. Tentu kehidupannya akan terisi dengan ketidaknyaman dan
ketakutan atas pengaturan takdir yang
pasti akan terjadi. Ngeri pasti!
Batas-batas
itu pula yang membuat sakitnya hati menerima kenyataan tidak lagi bersamanya -atas
siapa dan apa saja- menjadi terkendali dan menjadikan kita tidak memaksakan
diri untuk memilikinya lagi. Batas pengetahuan kita menghalangi tahu apa yang
sebenarnya akan terjadi, dan kemudian memilih berujar, “semua pasti ada
hikmahnya.”
Batas-batas
membuat kita tidak memaksakan diri pada segala sesuatu yang kita ingini. Meski barangkali
dan kadangkali, di satu sisi, kita merasakan seperti apa yang ada dalam puisi
ini.
“Apa
kabar hari ini?
Lihat
tanya itu
Jurang
antara kebodohan
dan keinginanku memilikimu sekali lagi”
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
www.percik.id
BalasHapusJudul : Batas
https://www.percik.id/2020/11/batas.html