PERCIK.ID- Banyak orang di jaman ini yang menganalisa kehidupan orang jaman dahulu. Orang Jawa, misalnya. Ada yang menganalisa bangsa Jawa di jaman bahaeula, ada pula yang menganalisa hanya sampai pada orang-orang dahulu di masa kecil mereka. Banyak orang sekarang yang melihat keluhuran pada kehidupan orang-orang di jaman dahulu yang bisa diambil spiritnya dari berbagai sisi. Bahkan dari cara mensetting rumah pun orang jawa dianggap memiliki pertimbangan yang luhur.
Ada
juga yang menganalisa sekaligus mengenang cerita mereka di masa kecil atas apa
yang mereka lihat dan dengar. Misalnya bercerita soal rokok terwe yang lebih
masyhur daripada rokok pabrikan. Juga soal mbah-mbah perempuan yang menggunakan
godong sirih sebagai pembersih gigi mereka.
Juga
misalnya seperti apa yang Ustadz Imam Royyani (Kalilom, Surabaya) sering sekali
menceritakan ulang perihal orang-orang tua yang ngaji di jaman beliau masih
kecil. Berangkat dari kepolosan dan kejujuran, apa yang dikaji diserap dengan
maksimal untuk diri sendiri dan dijadikan sebagai muhasabah sekaligus kejujuran
diri.
Ketika
Mbah Yai membahas sesuatu yang menyentil mereka. Tanpa ragu, mereka berujar, “Kulo
kenek ya Alloh, astaghfirulloh, ngapunten, Gusti.”
Betapa
pengajian menjadi media pepiling dan benar-benar sebagai sarana
memperbaiki diri. Ini jelas menunjukkan keseriusan mereka dalam mengaji. Tidak
hanya sekadar datang dalam rangka rutinitas belaka. Kejujuran diri ini yang
mahal dan berekses pada kemungkinan perbaikan yang lebih serius pula di masa
mendatang. Kemungkinannya, mereka tidak ingin lagi berujar “aku kenek”
di pengajian berikutnya.
Di
jaman ini, ketika pengajian banyak menjadi euforia seremonial, bisakah
kejujuran diri semacam ini mengisi ruang hati, setidaknya untuk mengujarkan “aku
kenek” untuk diri sendiri hingga menuntut perbaikan mandiri dan kontinu.
“Aku
kenek” pada hal ini merupakan keseriusan luar biasa yang dimiliki orang di
jaman dahulu. Entah ini menjadi budaya atau tidak di tempat tersebut. Yang
pasti, pengakuan diri adalah awal perubahan dalam bentuk pondasi untuk ditindak
lebih lanjut menuju arah yang lebih baik.
Sesungguhnya
ini bisa tidak hanya dalam pengajian. Kita bisa memerlakukannya dalam segala
sesuatu yang “mengenai” diri kita untuk bisa menjadikan sarana “aku kenek”
yang menuntut perbaikan-perbaikan. Kita hanya perlu kejujuran diri, setidaknya
kepada diri sendiri, untuk mengakui “aku kenek” dalam fakta kehidupan
yang kita jalani. Sebab menyangkal kekurangan dan kesalahan adalah alamat tidak
adanya kesadaran yang tidak mungkin mengelahirkan perubahan-perubahan.
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
www.percik.id
BalasHapusJudul: Kulo Kenek, Ya Alloh
https://www.percik.id/2020/11/kulo-kenek-ya-alloh.html