PERCIK.ID- Abuya Miftahul Luthfi Muhammad sering menyampaikan soal bagaimana semestinya seseorang menghadapi perbedaaan pandangan, secara khusus dengan orang yang telah meninggal. Ini beliau sampaikan, biasanya, ketika sedang membahas adanya pandangan yang berbeda dengan para ulama yang sedang dikaji kitabnya. Beliau sering menuturkan ketidaklayakan seseorang menyangkal atau bahkan menyalahkan pendapat seorang ulama yang telah meninggal.
“Pada ulama yang telah meninggal semacam Imam al-Ghozali,
Imam Nawawi, atau ulama’ yang lain, kita tidak layak menyalahkan, apalagi
dengan membabi buta sebab merasa lebih benar dari mereka. Para ulama’ itu telah
meninggal dan tidak punya hak jawab untuk menjelaskan apa yang telah kita
sangkal. Mereka diam dengan pendapat mereka, sedang kita masih bisa
berargumentasi bak lebih benar. Berbeda silakan, tapi jangan menyalahkan.”
Kita memang patut berhati-hati dengan hal semacam ini. Setidaknya dalam hal moril sebagai manusia, perkara menyalahkan pendapat orang yang telah meninggal jelas “tidak ada akhlak”. Toh kapasitas dan kemampuan manusia sekarang dengan orang dahulu jelas telah jauh berbeda. Betapa merasa lebih cerdas daripada ulama’ terdahulu adalah kebodohan yang nyata.
Ada satu hal lagi yang kita patut berhati-hati, yaitu justifikasi
sejarah. Maka ada yang mengatakan bahwa semangat zaman yang dikendalikan
penguasa mempengaruhi muatan sejarah[1]. “Sejarah ditulis oleh penguasa” dan itu benar adanya. Penguasa
di tanah air dulu adalah penjajah, maka sejarah ditulis oleh penjajah versi
penjajah. Lalu Indonesia merdeka, sejarah ditulis Indonesia. Ketika Indonesia
merdeka dan dikuasai oleh Soekarno, Soeharto maka ditulis versi penguasa
tersebut dan ketika nantinya penguasa adalah penulis dan peneliti maka sejarah
akan ditulis versi penulis[2].
Lepas dari adanya kepentingan soal sejarah,
kehatian-hatian dalam menjustifikasi sejarah juga penting diperhatikan. Sama
seperti hak jawab sebuah pendapat yang tidak lagi bisa berubah dan dibantah
ketika disangkal orang di jaman ini, justifikasi sejarah terhadap kejadian,
sikap dan perilaku seseorang juga kurang lebih sama.
Pada sejarah, kita hanya perlu mengambil hikmah dan
pelajaran, serta mesti sungguh-sungguh berhati-hati jika harus memastikan
kebenarannya. Sebab arah sejarah bergantung darimana informasi itu kita dapat.
Posisi dan sudut pandangnya menentukan kesimpulan yang akan kita ambil.
Masih beruntung jika informasi tersebut hanya sebagai
bagian dari pengetahuan. Sebab ada yang kemudian membabi buta dan begitu keras
ketika ada informasi konfrontatif yang ia dapat, misalnya.
“Ulama’ ini ternyata mu’tazilah, ternyata syi’ah,
ternyata mendukung penguasa yang dholim. Orang ini ternyata kelakuan semasa
hidupnya begini, pernah melakukan hal ini,” dan lain sebagainya.
Keharuman nama yang bisa menjadi sarana mendapatkan
banyak do’a kemudian tercerabut begitu saja dengan pandangan konfrontatif ia
dapat. Apalagi jika kemudian disebarluaskan dan diyakini banyak orang. Jika
ternyata salah, dan orang tersebut nyatanya benar-benar baik, betapa ia telah
menghadang kebaikan orang yang semestinya bisa “pasive income” ketika
telah meninggal. Ia telah menghalau kesaksian baik yang bisa menjadi kenikmatan
tersendiri bagi mereka.
Bukan dengan menjustifikasi dan menuduh sembarangan, jika salah, kita juga termasuk memfitnah mereka?
Berhati-hatilah menjustifikasi sejarah, sebab justifikasi tersebut tidak hanya berkaitan “cocot” luweh kita, tapi juga masa depan mereka.
[1] Indonesian Journal of History
Education: Pengaruh Zeitgeist Terhadap Muatan Sejarah di Buku Teks
Pelajaran Sejarah SMA Kurikulum 1975-2004
[2] Ibid.
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
www.percik.id
BalasHapusJutifikasi Sejarah