PERCIK.ID- Islam masuk ke Indonesia dengan cara yang unik dan tidak biasa. Ada sejarah panjang yang melatarbelangi masuk Islam dengan tokoh yang kini dikenal dengan Wali Songo. Meski jika dilihat lebih detail, ada kompleksitas yang lebih luas dari masuknya Islam lewat peran Wali Songo tersebut. Yang pasti, cara pengislaman masyarakat Indonesia (Jawa khususnya) terbilang unik jika dikomparasikan dengan masuknya Islam di negara-negara lain yang selalu lekat dengan pertumpahan darah. Elaborasi syari’at dan budaya menjadi titik kunci keberhasilan Islam menarik perhatian masyarakat pribumi ketika itu. Belum lagi penanaman unsur tasawwuf yang begitu lekat di masyarakat Jawa.
Keberhasilan itu yang
kemudian oleh Nahdlotul Ulama’ dijadikan landasan begerak. Nahdlotul Ulama’
berpendirian bahwa faham Ahlussunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam tata
kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada 4
butir karakter yang disebutkan dalam Naskah Khitthah NU.
1.
Sikap tawassuth dan i’tidal. Sikap tengah
yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku
adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Sikap ini, selain bersifat
membangun, juga menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf
(ekstrim)
2.
Sikap tasamuh. Sikap toleransi terhadap perbedaan,
baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi
masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3.
Sikap tawazun. Sikap seimbang dalam berkhidmah,
menyerasikan kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada
lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa
mendatang.
4.
Amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan
untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama,
serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan
nilai-nilai kehidupan. [1]
Ke-empat hal tersebut
menjadi kunci penting dalam membangun suatu ekosistem yang mengakar. Masalahnya
kemudian, kita saat ini berada pada era di mana ekstrimisme tumbuh subur dan
mengunci banyak ruang. Gerakan ekstrimisme membuat 4 poin di atas harus
menemukan solusi agar tetap relevan dan terimplementasikan serta dimiliki oleh
masyarakat Indonesia. Sebab ekstrimisme tidak banyak menyediakan ruang diskusi
serta dialog untuk mengompromikan pemecahan masalah dengan cara yang elegan
sebagaimana 4 butir karakter Ahlussunnah Waljamaah di atas.
Karena alotnya
pengendalian ekstrimisme yang semakin menyebar dan mengakar, maka PR untuk
mensosialisasikan tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, serta amar ma’ruf nahi
munkar juga semakin urgen. Logika dan kalkulasinya, benturan dengan ekstrimisme
memerlukan banyak waktu dan memerlukan regenerasi yang sama siapnya untuk berhadap-hadapan
dengan ekstrimisme.
Harapan besar tentu pada
akhirnya ditumpukan kepada santri sebagai agen yang akan meneruskan tonggak estafet
perjuangan di tubuh Nahdlotul Ulama’, baik dari struktural maupun kultural.
Akan selalu demikian dari generasi ke generasi. Ketidaksiapan santri menghadapi
problematika keagamaan di masa depan adalah indikasi awal kekalahan gerakan
Islam moderat di tengah masyarakat. Pusaran dari zaman-zaman akan semakin kuat,
tentu tuntutan kualitas santri dari zaman-zaman juga harus semakin besar.
Pada titik kualitas
inilah, santri semestinya memiliki masa depan yang lebih cerah sebab berada
dalam lingkungan yang lekat dengan unsur keilmuan yang tidak didapat dalam
ruang lingkup selain pesantren. Apalagi, secara keilmuan, kebanyakan pesantren
di Indonesia ditunjang dengan kedalaman ilmu agama yang komprehensif. Pun
berikut dengan praktiknya.
Modal dasar berada dalam
lingkungan yang baik, serta berada di bawah pengajaran yang mumpuni semestinya
menjadikan santri memiliki keunggulan yang layak diharapkan kontribusinya di
masa mendatang. Secara modal, sudah tidak diragukan lagi apa yang dimiliki oleh
santri. Tinggal bagaimana santri memanfaatkan momentum untuk menempa diri demi
memiliki added value [2] yang berkualitas. Sebab
waktu berjalan, tuntutan dari hari ke hari akan semakin kompleks dan mendalam,
semakin sulit dan menantang.
Maka, pada akhirnya santri
tidak bisa berpikir hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga berkontribusi di
ruang-ruang sosial mereka. Gerakan dari akar rumput sampai sampai ruang-ruang
birokrasi harus terisi dengan sama baiknya. Sebab gerakan ekstrimisme juga bergerak
pada kedua ruang tersebut dengan sama masifnya. Meski di masyarakat bawah masih
cenderung tertangani sebab sebagian basis Nahdlatul Ulama’ ada disana, akan
tetapi gerakan-gerakan ekstrimisme telah tampak mencoba untuk merongrong lewat
bawah. Bagaimanapun, santri tidak bisa abai dan menganggap ini fenomena biasa
hingga dibiarkan begitu saja. Anggapan ekstrimisme Islam tidak laku adalah
kesalahan awal dan kesempatan besar bagi mereka untuk menanamkan doktrin.
Jangan sampai gelagat yang dianggap kecil itu menguat, santri baru
pontang-panting “mengobatinya”. Sama seperti penyakit, ekstrimisme lebih baik
dicegah, daripada harus diobati.
Pergeseran Perjuangan
Perjuangan serta nilai
kepahlawanan santri nantinya bisa dilihat dari peran mereka dalam berjuang
membumikan nilai-nilai yang ada dalam 4 karakter yang menjadi sikap para
pemeluk ahlussunnah wal jama’ah. Sebab gerakan dalam menumbangkan nilai moderat
beragama jelas lebih masif dan tidak bisa didiamkan begitu saja. Terlebih lagi,
ekstrimisme juga seringkali mengancam kedaulatan NKRI dengan faham yang tidak
sejalan dengan apa yang telah menjadi pondasi dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kita bisa melihat
polarisasi di tengah masyarakat telah mulai terlihat. Polarisasi itu semakin
rumit sebab faham ekstrimisme seringkali tidak membuka ruang dialog untuk
menemukan titik temu dalam mengompromomikan problematika yang terjadi. Jika
tidak tertangani dengan benar, ancaman ekstrimisme tidak hanya berdampak pada
moderasi dalam beragama, tetapi juga kerukunan dalam masyarakat. Padahal,
seperti telah dipahami bersama, pangkal huru-hara dalam sebuah negara
seringkali tersulut dari polarisasi yang akut di tengah masyarakat. Peran
santri ada di sini untuk meredam tidak terjadinya gejolak yang mengancam
eksistensi negara.
Maka, perjuangan santri
bagi Islam dan Indonesia adalah optimalisasi pendidikan yang mereka enyam di
pesantren. Semakin luas, lewes dan mendalam[3] ilmu yang dimiliki oleh
santri, akan semakin kuat potensi peredaman gerakan ekstrimisme yang ada. Setidaknya
ilmu yang dimiliki tersebut bisa menjadi media memangkas transmisi keilmuan
mereka karena terpatahkan dengan argumentasi lebih kuat yang tersampaikan
dengan lebih masif dan mengena. Hal ini tidak akan pernah dapat dilakukan jika
tidak dengan optimalisasi menyerap ilmu yang diajarkan di pondok pesantren.
Perjuangan masa depan
santri ada pada kemampuan intelektualitas yang mampu membekuk faham ekstrimisme
yang biasanya diisi oleh orang-orang tidak mumpuni dalam keilmuan Islam
-setidaknya, tidak semumpuni orang jebolan pesantren-. Perjuangan tersebut
adalah perjuangan masa depan yang kemungkinan besar akan dihadapi oleh santri
di masa mendatang.
Intinya, optimalisasi santri
untuk menyerap keilmuan yang diperoleh di pesantren adalah pondasi untuk
merajut kedamaian Indonesia di masa mendatang lewat Islam moderat yang dipegang
oleh Nahdlatul Ulama’. Kedamaian dalam beragama, kedamaian dalam bernegara.
Bukti bahwa di dalam hati santri ada cinta untuk Islam, ada cinta untuk
Indonesia.
[1] Buku Mengenal Nahdlotul Ulama’, KH. Abdul
Muchith Muzadi, Penerbit Masjid Sunan Kalijogo, Jember.
[2] Istilah yang dipopulerkan Mantan Presiden
Indonesia, BJ. Habibie
[3] Istilah dari Abuya Miftahul Luthfi
Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Surabaya
Tulisan Ahmad Yusuf Tamami Lainnya
www.percik.id
BalasHapusPosisi Santri dalam Masa Depan Islam Indonesia