PERCIK.ID- Hampir semua kita tahu, dalam Islam, wahyu yang pertama kali dirurunkan pada Nabi sekaligus Rosul (utusan) Tuhan, adalah berupa perintah untuk membaca. Iqro’. Begitu bunyinya dalam bentuk bahasa arab. Ayat ini juga sekaligus melegitimasi kenabian lelaki bernama Muhammad, kemudian, surat Al-Muddatsir melegitimasi kerasulannya.
Banyak riwayat yang menyatakan, ketika
Jibril menyampaikan “Iqro’ (bacalah), wahai Muhammad,” Nabi menolak dengan
alasan ia tidak memiliki skill membaca. “Mâ ana bi qori’” begitu jawab
Nabi, namun Jibril memaksa, bacalah, Muhammad, bacalah! Dialog yang berisi
paksaan dan penolakan antara Nabi saw. dengan malaikat jibril terulang beberapa
kali, terekam dalam banyak tulisan para ulama dan cendekia.
Beberapa catatan cendekia menyebutkan, ayat
yang turun kali pertama berupa perintah untuk membaca, menunjukkan betapa
istimewanya ilmu pengetahuan.
Betapa tak ternilai harga pengetahuan
sampai Tuhan menitahkan Jibril untuk menginformasikan ayat yang pertama, yang
seperti diproyeksikan menjadi dasar bagi seluruh permasalahan yang akan
dihadapi Rosul saw. di dunia.
Kendati pun demikian, belakangan, ilmu
pengetahuan diidentikkan dengan belajar di tempat-tempat yang sudah menemukan
formalitasnya.
Kian ke sini, konteks belajar ditali
mati dengan bangku dan sekolah. Disatu paketkan dengan buku, absensi dan kelas.
Konteks belajar kian kehilangan makna
sejatinya. Saya setuju dan oke saja dengan pendapat yang menyatakan sekolah
adalah ladang pengetahuan.
Tapi kita semua tahu, tidak semua orang
yang tertawa adalah orang yang berbahagia, tidak semua yang tampak murung dan
sedih adalah orang yang berduka, pun, tidak semua orang yang berangkat ke
sekolah datang untuk belajar. Bisa jadi ia hanya hadir untuk mengisi absensi.
Menghindari huruf A di daftar hadir. Bisa jadi.
Dan ujungnya, adalah ijazah. Beberapa
dari semua kita beranggapan, bahwa ijazah adalah indikator orang terpelajar.
Padahal dan nyatanya, orang yang
memiliki selembar kertas yang harganya sangat mahal ini –karena untuk
mendapatkannya, sebagian orang harus berhutang atau memiliki tanggungan
pinjaman pada orang lain untuk bisa melalui semua ranfkai prosesnya– bisa
didapat dengan seseorang datang ke sekolah.
Tanpa dia membaca atau berpikir,
menjawab persoalan atau mengembangkan temuan pengetahuan.
Bangku sekolah seringkali membuat
siswanya lupa, bahwa membaca tidak melulu membaca apa yang tertulis. Bangku
sekolah seringkali lupa mengajarkan anak didiknya membaca segala apa yang tak
tertulis.
Uniknya, beberapa dari institusi justru
mengantongi staf pengajar yang membuat mati pemikiran anak didiknya sendiri.
Banyak cara yang ditempuh oleh staf
jenis ini. Mulai dari membatasi cakrawala pikir anak didiknya, tidak mendukung
minat anak didiknya di bidang yang disukainya, tapi justru memaksakan minatnya
agar diteruskan anak didiknya, dan seterusnya. Ironis memang.
Dunia formalitas ini, seringkali membuat kita lupa, bahwa aktifitas membaca,
tidak melulu terpaku pada teks-teks yang tersaji dalam wacana. Bisa jadi ia
hadir dalam bentuk fenomena.
Robbî, zidnî ilman nâfi’a.
www.percik.id
BalasHapusBerpendidikan