PERCIK.ID- Satu bulan lagi, genap satu tahun saya dan teman sekampus menjalani masa pembelajaran jarak jauh. Ya, tepat di bulan Maret 2020 lalu, kampus memutuskan untuk menyusul kampus lain yang mengeluarkan kebijakan kuliah online karena kendala pandemi.
Mendikbud
menyatakan tujuan dari pembelajaran jarak jauh ini adalah agar siswa –
mahasiswa bisa tetap belajar dengan aman, tenang, merdeka dan menyenangkan.
Tapi, menyenangkan bagaimana jika metode belajarnya hanya mengandalkan
pembagian tugas tanpa penjelasan materi?
"Materi
yang bisa kita petik selama kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring
adalah, 'baik, Pak. Siap, Buk. Iya, Pak. Iya, Buk'"
Celetukan
nakal ini berkali-kali tayang di beranda sosial media saya. Mulai dari fesbuk,
Twitter, Instagram, sampai fyp tiktok. Dari nama akun yang berbeda-beda, dan
tidak pernah kurang dari seribu like ketika ia tampil di beranda. Entah karena
terhibur, entah karena sependapat dengan paradigma di atas.
Tidak
berhenti di situ, masih banya kendala masyarakat tentang pendidikan. Yang
paling krusial, tentu saja masalah ekonomi. Di beberapa daerah juga menyebut
teknologi. Dua masalah yang cukup berlarut-larut penanganan dan kebijakannya.
Dulu, di
awal pandemi, ramai juga postingan orangtua yang membayar biaya sekolah dengan foto
uang. Foto saja, bukan uang fisik. Alasannya, karena anaknya tak mendapat
pendidikan dan pelayanan akademik seperti biasa. Sebagaimana biasanya, alih-alih
prihatin pada sang guru yang mendapat sikap demikian dari salah satu orang tua,
diam-diam saya juga menyetujui sikap orang tua tersebut. Dduh...betapa lemahnya
prinsip saya.
Saya
seorang mahasiswi dari perguruan tinggi swasta. Masalah yang mampir di dunia
saya bukan soal tekhnologi, tapi lebih pada ekonomi. Uang UKT khususnya. Uang
UKT yang harus dibayarkan mungkin tak seberapa dibanding nominal UKT kawan saya
di perguruan tinggi negeri dengan jurusan kedokteran yang sungguh na’udzubillah
mahalnya.
Tapi di
masa ekonomi sulit seperti ini, tak bisa menyerap materi dengan baik sebagimana
keinginan orangtua saya agar anaknya memperoleh pendidikan yang mumpuni,
menjadi masalah besar juga pada akhirnya. Apalagi, wacana keringanan UKT hanya
jadi fiksi manis yang menghibur harapan saya, tapi dalam waktu yang bersamaan,
saya harus dibabakbelurkan oleh realita yang ada.
Mungkin
tidak semua dosen menerapkan metode
"ini materi kita hari ini, silakan pelajari dan analisis". Atau
metode metode yang sungguh tidak masuk di nalar. Tentu saja saya setuju, bahwa
prinsip dan metode di kampus tidak lagi sama dengan ketika kita SD, SMP, atau
SMA.
Tapi mbuk
tulung beri pencerahan setelah kami berdiskusi, Pak. Jika mungkin sibuk,
tinggal beri jempol kuning selesai itu. Atau luangkan satu menit untuk menulis
"oke, diskusinya bagus. Tapi baiknya, kalian baca juga teori ini. Kalian
komparasikan dengan pemikiran ini". Biar keliatan kuliah betulan gitu
maksudnya. Nyatanya, hal tersebut hanya menjadi impian yang mengendap sia-sia.
Dalam hal ini, fix saya saya menyalahkan pihak lain. Bukan kebodohan saya.
Saya
juga bertanya-tanya, mengapa kegiatan belajar mengajar ini harus terus
dijalankan, jika ujungnya tak ada nilai akademik yang bisa kami enyam? Nilai
akhir juga dikonsentrasikan pada kecepatan jaringan, sementara semua kita tahu,
tidak semua peserta didik bisa memenuhi ini.
Ada yang
tinggal di pedesaan dengan kecepatan signal menjengkelkan, dan yang lebih
parah, gadget yang dipakai untuk sekolah, ternyata harus joinan dengan adik
atau kakak. Belum lagi kebutuhan kuota yang tiba-tiba menjadi kebutuhan pokok,
untuk membelinya, kepala harus adu jotos dulu. Mana yang harus dibeli lebih
dulu, kuota internet atau kebutuhan pangan. Mau memilih lapar dan tidak
tertinggal keterangan atau sebaliknya. Sungguh pilihan yang menyebalkan.
Mengapa
harus diteruskan jika realita yang ada sudah tidak berbanding lurus dengan
cita-cita awal. Belajar dengan menyenangkan. Dengan setumpuk kendala yang tidak
bisa diselesaikan tanpa bantuan pemerintah, belajar tidak akan bisa
menyenangkan. Yang ada, anak-anak hanya akan membenci dunia pendidikan.
Semoga
tidak.
www.percik.id
BalasHapusMembenci Dunia Pendidikan